Sunday 3 January 2016

ADVOKAT WAJIB BERSERTIFIKAT HALAL ?



Tergelitik oleh tulisan di hukumonline.com, tanggal 29 dan 30 Desember 2015 dengan tema Advokat Wajib Bersertifikat Halal, timbul keinginan untuk meneliti lebih jauh  Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014, tentang Jaminan Produk Halal  sehubungan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah dalam tulisan hukumonline.com tanggal 29 Desember 2015, berikut kutipannya : “Oh iya, jasa hukum, notariat, arsitektur, termasuk apapun itu termasuk produk kan, produk jasa,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (29/12).”

Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa selain advokat maka notaris pun akan wajib bersertifikat halal, jika pernyataan tersebut dibenarkan dan ditetapkan secara menyeluruh. 

Pasal 1 angka  (1) UU JPH menyebutkan :  "Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.” 

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa yang menjadi “Objek” dari undang-undang ini adalah barang dan/atau jasa yang berkaitan dengan :
    Makanan
    Minuman
    Obat
    Kosmetika
    Produk kimiawi
    Produk biologi
    Produk rekayasa genetian.
     Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh Masyarakat.  

Tidak ada satu pun point di atas yang menyebutkan bahwa “Jasa” yang diberikan oleh Advokat atau pun Konsultan Hukum sebagai Objek "Sertifkat Halal”,  begitupun dalam penjelasan Pasal 1 UU JPH yang menyebutkan  “cukup jelas”.  Menginterpretasikan produk dalam pasal tersebut dapat dikatakan bahwa seluruh konteks produk yang berkaitan dengan point-point tersebut di atas hanya berlaku sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 angkat (10) tersebut;

Dalam tulisan tanggal 29 Desember pun Ikhsan Abdullah memberikan contoh tentang bentuk sertifikasi yang dilakukan terhadap pemberi jasa hukum. “Misalnya dalam hal perjanjian. Anda kan seorang lawyer pasti ada kaitannya dengan membuat perjanjian. Perjanjian yang disyaratkan kan harus halal itu. Di BW (KUH Perdata) disebutkan harus dengan klausa halal”

Pernyataan ini  berhubungan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang (kausa halal).
Benar bahwa salah satu sahnya perjanjian adalah adanya “sebab yang tidak terlarang (kausa halal)”, dimana maksud dan tujuan tersebut tidak melanggar ketentuan perundang-undangan dan ketertibatan umum. . 
Ada dua pembatalan dalam suatu perjanjian, yaitu :
  1. Dapat dibatalkan, dimana satu perjanjian tidak memenuhi salah satu ketentuan 1 dan 2 di atas. Pembatalan ini dapat dilakukan dengan putusan hakim yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan) 
  2. Batal demi hukum , dimana satu perjanjian tidak memenuhi salah satu ketentuan 3 atau 4 di atas.  Dengan tidak dipenuhinya syarat  tersebut, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Kita tinjau ketentuan pasal 1 angka  (8)  dan (9) juncto Pasal 15 yang menyebutkan :  
Pasal 1 angka (8) Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.
Pasal 1 angka  (8). Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.
Pasal 15  : Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 bertugas:
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. meneliti lokasi Produk;
e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Dari pasal-pasal tersebut sebagaimana pasal 1 angka (1)  tidak disebutkan adanya jenis “Jasa Produk Hukum” sebagai salah satu objek dan menjadi salah satu tugas dari auditor untuk memeriksa, mengkaji, meneliti, suatu perjanjian atau sejenis jasa tersebut, Kewenangan untuk memeriksa, mengkaji, dan meneliti satu perjanjian dan yang memutuskan pembatalan ada di tangan hakim. Dihubungkan dengan “kausa yang halal” secara otomatis pembatalan yang terjadi dari perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, perjanjian atau perikatan tersebut tidak pernah ada, tidak perlu adanya campur tangan dari Auditor Halal.  
Saya setuju dengan pernyataan yang diberikan oleh Ketua Pengurus Pleno DSN-MUI, Ma’ruf Amin dalam tulisan tanggal 29 Desember : UU Jaminan Produk Halal hanya diperuntukan untuk produk berupa makanan, minuman, serta produk lainnya yang berkaitan. “Itu kaitannya nanti dengan hal yang lain, itu produk.”
Jika suatu hari diberlakukan Sertifikatsi  Halal untuk bidang Jasa sebagaimana diuraikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah, harus diatur secara jelas dan tegas, demi tercapainya kepastian hukum.
Pro Kontra adalah wajar, ada peribahasa yang menyebutkan jika ada dua sarjana hukum saling berdebat, maka akan terjadi 3 pendapat.  

Semoga ada pencerahan dan dasar hukum yang lebih kuat tentang rencana pemberlakuan profesi Advokat  Wajib Bersertifkat Halal.(MsReina)