Thursday 2 February 2017

Seri : Pemilikan Rumah tinggal/hunian Untuk Orang Asing di Indonesia.




PEMILIKAN RUMAH TINGGAL/HUNIAN & PEMILIKAN BIDANG TANAH 
ATAU PEMILIKAN HAK ATAS TANAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA, 
DENGAN PERLUNYA MEMBANGUN & MEMBUAT "HUKUM BANGUNAN"  
BERSAMAAN PENATAAN HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA.


"Pemilikkan" itu tidak selalu harus diartikan sebagai "memiliki" dengan suatu hak kepemilikkan, akan tetapi kata "pemilikkan" dalam praktek & dalam realita di kehidupan masyarakat dilakukan dengan "tanpa harus memiliki dengan hak kepemilikkan" tetapi kadangkala "cukup/hanya" dengan memakai, menggunakan, mengelola, menguasai, sewa, dan lain-lain yang sejenisnya.

Hukum "sewa menyewa" bidang tanah & bangunan, baik bangunan rumah tinggal atau bangunan gedung di Indonesia tidak mengatur "batas waktu maksimum" seperti halnya dalam pemberian HGB HP HGU HPL yang membatasi pemilikkannya dengan batas waktu maksimum. Demikian pula, ada lembaga hukum "pinjam pakai" sama dengan ketenuan sewa menyewa yaitu tidak mengatur tentang batas waktu maksimum. Dalam kehidupan modern saat ini timbul pula lembaga "BOT" Built Operation of Tranfer sebagai kombinasi hukum berkembang dalam masyarakat dengan mengatur "sewa bangun serah" semuanya pembatasan jangka waktu maksimumnya "diserahkan & dilakukan" dengan memberi kebebasan mengaturnya dalam "perjanjian" yang dibuat oleh para pihak.

Tanah di Indonesia adalah "Hak Bangsa Indonesia", dengan memberi kewenangan kepada negara/pemerintah "Hak Menguasai Negara" sebagai diatur dlm ps 2 UUPA, & dengan ps 16 jo ps 6 UUPA juga memberi hak kepada orang perseorangan WNI & Badan Hukum Indonesia (BHI) "memiliki" bidang tanah dengan "hak atas tanah" dengan fungsi sosial. Terhadap "orang asing" WNA, UUPA hanya memberi kemungkinan pemilikkan bidang tanah dg "hak pakai" dg mengatur pembatasannya, sebagaimana sudah diatur dalam PP 103/2015 & peraturan pelaksanaannya. ...Tetapi ... pemilikkan bidang tanah oleh "Badan Hukum Asing (BHA)" dalam UUPA dimungkinkan dengan "HGU" yang hingga saat ini belum diatur secara tegas & detail mengenai "pemilikkan HGU oleh Badan Hukum Asing/BHA", dan "terdapat" praktek2 realita yang dilakukan dengan "penyelundupan hukum" & "pemanfaatan celah hukum" dengan menggunakan "dalil" penanaman modal asing yang berdasarkan UU Penanaman Modal.

Terhadap pemilikkan bidang tanah oleh orang asing/WNA juga terdapat "penyeludupan hukum" & "pemanfaatan celah hukum" melalui :
  1. Perkawinan WNA dengan WNI,
  2. Perjanjian "perbuatan hukum" antara WNA dengan WNI, baik melalui kerjasama, usaha, sewa menyewa, pinjam pakai dan lain-lain.
PP 103/2015 tentang kepemilikan rumah tinggal atau hunian belum mengatur secara detail untuk kepemilikkan bidang tanah karena tinjauan hukum & pemikiran konsep gagasannya didasarkan pada kepemilikan "bangunan" rumah tinggal/hunian ... Dengan demikian dalam membahas PP 103/2015, mengenai kepemilikan rumah tinggal/hunian untuk orang asing/WNA seharusnya dibagi atas 2 obyek, yaitu :

1. Kepemilikan rumah tinggal/hunian untuk orang asing yang bangunan rumah tinggal/huniannya di atas bidang tanah denganhak atas tanah (hak pakai) dlm :
   a. Di dalam Kawasan perumahan, atau
   b. Diluar kawasan perumahan.

2. Pemilikkan rumah tinggal/hunian untuk orang asing terhadap :
   a. "rumah susun" atau apartemen/kondominium, atau
   b. Apatel : apartemen hotel atau kondotel : kondominium hotel atau rusuntel : rumah susun hotel.

Kepemilikan bidang tanah dengan hak atas tanah oleh orang asing harusnya ditunjau dari sudut pandangan sbb :
  1. Kepemilikian dengan "memiliki" dg tercatat pada sertipikat hak atas tanah atau sertipikat hak milik atas satuan rumah susun; atau
  2. Kepemilikan "hanya" dengan berdasarkan suatu "perjanjian", baik itu perjanjian :
  • dg "pemberian" hak & kewenangan utk memohon hak atas tanah (hak pakai) diatas tanah hak atas lain spt HM, HPL maupun diatas tanah wakaf, tanah negara dll, atau
  • "pemberian" hak & kewenangan "hanya" utk memakai, menguasai, menggunakan, mengelola, dll tanpa hrs memiliki & "tanpa/tidak dicatat" dlm sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, baik dg perjanjian sewa menyewa, atau perjanjian pinjam pakai, atau perjanjian BOT, atau perjanjian2 bentuk lain yang tdk memberi hak & kewenangan utk "memiliki" tapi "hanya/cukup" dengan sewa, memakai, menggunakan, mengelola, menguasai atau yang sejenis dengan itu.

Hal ini sudah harus dipilah-pilah, karena pada prinsip & dasarnya tanah adalah "hak bangsa Indonesia" & orang asing dilarang memiliki tanah di indonesia tetapi dengan peraturan hkm pemilikan tanah oleh orang asing dapat diberikan dengan ak pakai & "dibatasi" .. sedangkan ... pemilikan bangunan adalah berdasarkan "asas horizontal" tdk membedakan pemiliknya WNI atau WNA. 

Oleh karena itu dalam hal pengaturan hukum terhadap "rumah susun" atau apartemen/kondominimun/strata title "sudah semestinya" berdasarkan asas horizontal dalam hukum pertanahan yaitu berada dalam ranah "hukum bangunan" yang terlepas dari hukum pertanahan, dikarenakan pada realita kenyataannya pemberian alat bukti kepemilikkan rumah susun adalah terhadap "lantai cor semen pada tiap lantai bangunan rumah susun". Oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan diskusi terhadap pengaturan hukumnya rumah susun. 

Dan pengaturan pemilikkan bidang tanah oleh orang asing/WNA perlu diatur secara khusus & sekaligus perlu pembatasan yang tegas & jelas dengan sudut pandang & pemikiran yang menggunakan pemikiran "pemilikkan bidang tanah & hak atas tanah", bukan didasarkan pada pemilikkan rumah tinggal/hunian.

Oleh karena itu, perlu pula membangun & pembangunan "hukum bangunan" di Indonesia berbarengan dengan penataan kembali hukum pertanahan di Indonesia.

Jakarta 2 februari 2017

Disusun oleh : 

mj widijatmoko
Lisza Nurchayatie
Abeng Muharzah Aman
Imam Wahyudi
Ammy Surya
Firdhonal SH
Erny Kencanawati
Sunarto
Jusuf Patrick
Edwar Pamuntjak
Bowie Eg
Vid Dandi

Penulis & Pemikir pada MjWinstitute Jakarta