Tergelitik oleh tulisan di hukumonline.com, tanggal
29 dan 30 Desember 2015 dengan tema Advokat Wajib Bersertifikat Halal, timbul
keinginan untuk meneliti lebih jauh Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014,
tentang Jaminan Produk Halal sehubungan
dengan pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dan
Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah dalam tulisan
hukumonline.com tanggal 29 Desember 2015, berikut kutipannya : “Oh iya,
jasa hukum, notariat, arsitektur, termasuk apapun itu termasuk produk kan,
produk jasa,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (29/12).”
Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa selain
advokat maka notaris pun akan wajib bersertifikat halal, jika pernyataan tersebut
dibenarkan dan ditetapkan secara menyeluruh.
Pasal 1 angka (1)
UU JPH menyebutkan : "Produk adalah barang dan/atau jasa yang
terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk
biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan,
atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa yang
menjadi “Objek” dari undang-undang ini adalah barang dan/atau jasa
yang berkaitan dengan :
• Makanan
• Minuman
• Obat
• Kosmetika
• Produk kimiawi
• Produk biologi
• Produk rekayasa genetian.
• Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh Masyarakat.
Tidak ada satu pun point di atas yang menyebutkan
bahwa “Jasa” yang diberikan oleh Advokat atau pun Konsultan Hukum sebagai Objek
"Sertifkat Halal”, begitupun dalam penjelasan Pasal 1 UU JPH yang
menyebutkan “cukup jelas”.
Menginterpretasikan produk dalam pasal tersebut dapat dikatakan bahwa
seluruh konteks produk yang berkaitan dengan point-point tersebut di atas hanya
berlaku sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 angkat (10) tersebut;
Dalam tulisan tanggal 29 Desember pun Ikhsan Abdullah
memberikan contoh tentang bentuk sertifikasi yang dilakukan terhadap
pemberi jasa hukum. “Misalnya dalam hal perjanjian. Anda kan
seorang lawyer pasti ada kaitannya dengan membuat perjanjian.
Perjanjian yang disyaratkan kan harus halal itu. Di BW (KUH Perdata) disebutkan
harus dengan klausa halal”
Pernyataan ini berhubungan dengan ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata sebagai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Kesepakatan mereka
yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok
persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang
tidak terlarang (kausa halal).
Benar bahwa salah
satu sahnya perjanjian adalah adanya “sebab yang tidak terlarang (kausa
halal)”, dimana maksud dan tujuan tersebut tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan dan ketertibatan umum. .
Ada dua pembatalan
dalam suatu perjanjian, yaitu :
- Dapat dibatalkan, dimana satu perjanjian tidak memenuhi salah satu ketentuan 1 dan 2 di atas. Pembatalan ini dapat dilakukan dengan putusan hakim yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan)
- Batal demi hukum , dimana satu perjanjian tidak memenuhi salah satu ketentuan 3 atau 4 di atas. Dengan tidak dipenuhinya syarat tersebut, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Kita tinjau ketentuan pasal 1 angka
(8) dan (9) juncto Pasal 15 yang menyebutkan :
Pasal 1 angka (8) Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya
disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau
pengujian terhadap kehalalan Produk.
Pasal 1 angka (8).
Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan
Produk.
Pasal 15 : Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
bertugas:
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. meneliti lokasi Produk;
e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan
penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kepada LPH.
Dari pasal-pasal tersebut sebagaimana pasal 1 angka (1) tidak disebutkan adanya jenis
“Jasa Produk Hukum” sebagai salah satu objek dan menjadi salah satu tugas dari
auditor untuk memeriksa, mengkaji, meneliti, suatu perjanjian atau sejenis jasa
tersebut, Kewenangan untuk memeriksa, mengkaji, dan meneliti satu perjanjian
dan yang memutuskan pembatalan ada di tangan hakim. Dihubungkan dengan “kausa
yang halal” secara otomatis pembatalan yang terjadi dari perjanjian tersebut
adalah batal demi hukum, perjanjian atau perikatan tersebut tidak pernah ada,
tidak perlu adanya campur tangan dari Auditor Halal.
Saya setuju dengan pernyataan yang diberikan
oleh Ketua Pengurus Pleno DSN-MUI, Ma’ruf Amin
dalam tulisan tanggal 29 Desember : UU Jaminan Produk Halal hanya
diperuntukan untuk produk berupa makanan, minuman, serta produk lainnya yang
berkaitan. “Itu kaitannya nanti dengan hal yang lain, itu produk.”
Jika suatu hari diberlakukan
Sertifikatsi Halal untuk bidang Jasa sebagaimana diuraikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah, harus diatur secara jelas dan
tegas, demi tercapainya kepastian hukum.
Pro Kontra adalah wajar, ada peribahasa yang
menyebutkan jika ada dua sarjana hukum saling berdebat, maka akan terjadi 3
pendapat.
Semoga ada pencerahan dan dasar hukum yang lebih kuat
tentang rencana pemberlakuan profesi Advokat Wajib Bersertifkat Halal.(MsReina)