Friday, 3 March 2017

Mengatur Kebebasan Berseraikat dalam Undang-Undang




MENGATUR KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM UNDANG-UNDANG


Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.


PENGATURAN KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM UUD 1945

Pada mulanya, prinsip kebebasan atau kemerdekaan berserikat ditentukan dalam Pasal 28 UUD 1945 (pra reformasi) yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 asli ini sama sekali belum memberikan jaminan konstitusional secara tegas dan langsung, melainkan hanya menyatakan akan ditetapkan dengan undang-undang. Namun, setelah reformasi, melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia.

Setiap orang diberi hak untuk bebas membentuk atau ikut serta dalam keanggotaan atau pun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat dalam wilayah negara Republik Indonesia. Untuk itu, kita tidak lagi memerlukan pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Karena itu, dipandang perlu untuk menyusun satu undang-undang baru, terutama untuk menggantikan undang-undang lama yang disusun berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebelum reformasi, yaitu UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

ORGANISASI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA

Dalam kehidupan berbangsa, kita dapat membedakan adanya jenis-jenis organisasi yang bekerja dalam tiga ranah kehidupan bersama, yaitu dalam ranah negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market). Pembedaan dan bahkan pemisahan ketiganya harus lah dijadikan perspektif baru dalam  membangun pengertian-pengertian mengenai organisasi modern, termasuk mengenai organisasi kemasyarakatan sejalan dengan perkembangan ide mengenai prinsip “legal and constitutionaql government” dan gagasan “good governance “. Bahkan dewasa ini berkembang pula pandangan yang semakin kuat bahwa komunitas organisasi di ketiga ranah negara, masyarakat, dan dunia usaha itu haruslah berada dalam posisi yang seimbang dan saling menunjang satu sama lain untuk menopang dinamika kemajuan bangsa.

Oleh sebab itu, dalam menyiapkan pengaturan-pengaturan oleh negara terhadap aneka bentuk dan jenis organisasi tersebut, perlu diperhatikan pentingnya (i) prinsip pemisahan (decoupling) antar ranah negara, masyarakat, dan dunia usaha itu, (ii) prinsip “legal and onstitutional organization”, (iii) prinsip “good governance”, dan (iv) kebutuhan akan “organizational empowerment” dalam rangka (v) perwujudan prinsip “freedom of association” yang (vi) tetap menjamin, mencerminkan, dan tidak mengurangi arti dari prinsip-prinsip kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpikir, dan kebebasan berpendapat (freedom of belief, freedom of thought, and  freedom of expression}.


Di masing-masing ranah, terdapat beraneka macam dan jenis organisasi yang dibentuk oleh pendirinya dengan maksud untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam ranah struktur negara tersusun atas dasar jabatan-jabatan secara horizontral, vertical dan bahkan diagonal, sehingga oleh Logemann organisasi negara itu disebut sebagai organisasi jabatan (ambten organisatie). Secara umum, organisasi jabatan dibedakan dalam cabang-cabang:

1)      Cabang eksekutif.
2)      Cabang legislative.
3)      Cabang Judisial;
4)      Cabang-cabang campuran atau cabang lainnya.

Sementara itu, organisasi dalam ranah dunia usaha dapat dibedakan antara persekutuan orang dan persekutuan kekayaan kapital. Organisasi yang dapat dikategorikan sebagai persekutuan orang adalah Koperasi, sedangkan organisasi yang merupakan perkumpulan modal atau capital adalah perseroan terbatas yang tersusun atas nilai saham. Organisasi negara juga ada yang bersifat persekutuan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara, yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sehubungan dengan itu, organisasi dalam lingkungan kemasyarakatan juga dapat kita bedakan antara persekutuan orang dan persekutuan kekayaan itu. Bahkan, organisasi kemasyarakatan ada pula yang merupakan pesekutuan organisasi atau institusi, seperti badan kerjasama perguruan tinggi, dan sebagainya. Yang termasuk organisasi kemasyarakatan dengan kategori persekutuan kekayaan adalah:

a)      Yayasan yang diatur berdasarkan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan; dan
b)      Badan wakaf yang diatur berdasarkan UU tentang Wakaf.

Sedangkan organisasi kemasyarakatan atau organisasi masyarakat dengan kategori persekutuan organisasi dapat terdiri atas organisasi-organisasi berbadan hukum atau organisasi bukan berbadan hukum. Di samping itu, ada pula kemungkinan organisasi yang menjadi anggota itu, tidak termasuk kategori organisasi kemasyarakatan. Misalnya, Asosiasi Pemerintahan Daerah, Asosiasi DPRD, Asosiasi Gubernur, Asosiasi Walikota, dan sebagainya. Apakah asosiasi-asosiasi semacam ini dapat dikategorikan sebagai organisasi kemasyarakatan atau bukankah? Jika asosiasi-asosiasi ini didaftarkan untuk mendapatkan status badan hukum, dapatkah diterima dan diberikan status badan hukum? Menurut saya, yang seharusnya diterima untuk membentuk organisasi bukanlah organisasi negaranya seperti Gubernur, Walikopta, dan DPRD, tetapi orang per orang yang menduduki jabatan-jabatan Gubernur, Bupati, Walikota, atau Anggota DPRD yang bersangkutan. Jadi yang berorganisasi bukanlah lembaganya melainkan orangnya. Kalau demikian maka nama organisasi Asosiasi Pemerintahan Daerah, Asosiasi Gubernur, dan sebagainya itu harus dipersoalkan, apalagi jika kegiatan organisasi itu menggunakan anggaran belanja daerah.

Sementara itu, organisasi kemasyarakatan yang termasuk kategori persekutuan orang adalah:
  1. Partai Politik yang diatur dengan UU tentang Partai Politik;
  2. Perkumpulan (Vereeniging) berbadan hukum yang diatur berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64;
  3. Lembaga Swadaya Masyarakat yang diatur berdasarkan UU Lingkungan Hidup Tahun 1982; dan
  4. Organisasi Kemasyarakatan yang diatur berdasarkan UU No. 8 Tahun 1985.
Di samping itu, di pelbagai bidang kegiatan partisipasi masyarakat yang terkait dengan kegiatan instansi-instansi pemerintahan, terdapat pula berbagai macam organisasi yang diatur tersendiri instansi yang bersangkutan. Misalnya, organisasi masyarakat penyelenggara dakwah keagamaan, pendidikan, kesehatan, social, lingkungan hidup, dan sebagainya. Kesemua jenis organisasi dimaksud dirangkumkan pengaturannya oleh UU No. 8 Tahun 1985 yang bersifat mencakup. Kesemua jenis dan macam-macam organisasi tersebut, perlu dibuat kategorisasi dan klasifikasi agar dapat dipahami dengan jenis factor-faktor pembedanya satu dengan yang lain.

Untuk itu, kategorisasi dimaksud dapat dibedakan antara (1) status badan hukum dan bukan badan hukumnya dan (2) kategorinya sebagai persekutuan orang atau persekutuan kekayaan. Di samping itu, kategorisasi dapat pula dilihat dari (3) susunan organisasinya yang bersifat massal atau merupakan sistem unit. Jika keanggotaan bersifat massal, maka organisasi itu biasanya disebut sebagai organisasi massa dengan susunan yang terdiri atas cabang-cabang dan ranting, seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Sedangkan keanggotaan organisasi unit tidak bersifat massal, melainkan terbatas, sehingga struktur organisasinya hanya sebagai 1 unit organisasi, tidak memiliki cabang di daerah-daerah, melainkan hanya kantor perwakilan saja. Selain itu, organisasi kemasyarakatan dapat pula dibedakan dari (4) lingkup kegiatannya yang bersifat umum atau bersifat khusus menurut bidang-bidang tertentu saja, misalnya hanya di bidang pendidikan, atau kesehatan saja. Dalam praktik, ada organisasi dengan keangotaan yang bersifat massal dan dengan kegiatan yang bersifat umum, mencakup semua bidang yang sangat luas, seperti organisasi Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah tersebut di atas.

Sebaiknya perbedaan-perbedaan tersebut diatur secara berbeda-beda satu dengan yang lain atau setidaknya beberapa di antaranya diatur berbeda. Demikian pula untuk memudahkan pemahaman, penamaan pelbagai jenis organisasi itu juga dapat dibedakan. Misalnya, selama ini pengertian ormas lebih dikenal sebagai organisasi massa, sampai  ditetapkannya UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur tentang Organisasi Kemasyarakatan yang biasa disingkat juga sebagai ormas. Padahal ada perbedaan prinsipil antara pengertian organisasi kemasyarakatan dengan organisasi masyarakat, dan apalagi dengan organisasi massa. Kata kemasyarakatan menunjuk kepada pengertian sifat kemasyarakatan atau sifat kegiatan kemasyarakatan, sedangkan masyarakat pada organisasi masyarakat menunjuk kepada pengertian organisasi non-negara atau non-pemerintah, atau organisasi milik masyarakat. Demikian pula yang dimaksud dengan organisasi massa, adalah organisasi masyarakat dengan keanggotaan yang bersifat massal. Oleh sebab itu, dapat dipersoalkan mengapa para perancang RUU memilih judul Organisasi Masyarakat, tidak seperti judul UU No. 8 Tahun 1985, yaitu tentang Organisasi Kemasyarakatan.

STATUS BADAN HUKUM

Organisasi yang mencerminkan atau pelembagaan prinsip kemerdekaan berserikat dapat terbentuk sebagai badan hukum (rechtspersoon). Namun, tidak semua organisasi memerlukan status  badan hukum. Jika organisasi tersebut tidak menyangkut kepentingan umum atau berkenaan urusan masyarakat luas, sangat mungkin organisasi itu tidak memerlukan status yang ketat sebagai badan hukum (rechtspersoon). Namun, organisasi yang tidak berbadan hukum ini ada juga yang kegiatannya berkaitan dengan kepentingan umum atau berhubungan dengan program-program pemerintah sehingga memerlukan pengaturan dengan undang-undang.

Organisasi yang berstatus badan hukum tentu berbeda dari organisasi yang bukan badan hukum. Dengan status badan hukum itu, organisasi yang bersangkutan dapat bertindak sebagai subjek yang otonom atau penuh dalam lalu lintas hukum. Badan hukum organisasi menyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Misalnya, organisasi badan hukum dapat diberi hak-hak (i) untuk memiliki rekening bank atas nama organisasi, (ii) untuk memiliki saham atau surat-surat berharga lainnya atas nama organisasi, (iii) untuk memiliki harta bergerak dan tidak bergerak, khususnya (iv) hak atas tanah atas nama organisasi. Organisasi yang tidak berbadan hukum tidak dapat memiliki semua hak-hak yang dapat diberikan kepada organisasi berbadan hukum tersebut.

Status badan hukum itu sendiri harus ditetapkan secara resmi melalui pendaftaran di instansi pemerintah. Terkait hal itu, perlu dibedakan antara (i) registrasi status badan hukum dan (ii) registrasi atau izin operasional kegiatan, dan (iii) standarisasi dan akreditasi dalam rangka pembinaan mutu. Registrasi badan hukum harus tersentralisasi dalam sistem administrasi hukum Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan registrasi atau izin operasional kegiatan dapat ditentukan dikaitkan dengan kementerian yang bertanggungjawab dalam bidang kegiatan yang bersangkutan. Misalnya, kegiatan organisasi di bidang pendidikan harus terdaftar di atau memiliki izin operasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, organisasi keagamaan harus terdaftar di atau mendapatkan izin operasional dari Kementerian Agama, organisasi social harus terdaftar di atau diberi izin operasional dari Kementerian Sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak perlu diadakan pengaturan yang menentukan harus adanya pendaftaran di Kementerian Dalam Negeri, kecuali untuk organisasi asing yang beroperasi di Indonesia dan organisasi warga negara asing yang ada di Indonesia yang harus diawasi oleh kementerian yang bertanggungjawab untuk urusan pengawasan orang asing.

Di samping itu, dapat dipersoalkan, setelah organisasi tersebut mendapatkan status badan hukum, apakah kepadanya masih harus dikenakan ketentuan untuk mendapatkan izin operasional untuk melakukan sesuatu kegiatan? Ketentuan mengenai perizinan didasarkan atas premis bahwa kegiatan yang bersangkutan pada dasarnya dilarang, kecuali apabila telah mendapatkan izin untuk dilakukan. Padahal, (i) pada dasarnya setiap orang berhak untuk bebas berorganisasi atau berserikat, dan (ii) organisasinya itu sendiri, apalagi misalnya, telah didaftarkan secara resmi dan mendapatkan status badan hukum sebagaimana mestinya, juga harus dipandang memiliki kebebasan untuk mengadakan kegiatan yang tidak melanggar hukum. Untuk apa lagi organisasi itu diharuskan mendapatkan izin operasional? Bukankah baginya cukup ditentukan harus mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang membina bidang kegiatan yang bersangkutan, sehingga organisasi yang bersangkutan dapat mengikuti pelbagai ketentuan yang berlaku di lingkungan instansi yang bersangkutan, termasuk untuk kepentingan standarisasi dan akreditasi. Jika organisasi yang bersangkutan ternyata melakukan pelanggaran, bukan kah atas dasar itu, statusnya sebagai badan hukum dapat dipersoalkan sebagaimana mestinya? Karena sebenarnya, kepada semua organisasi berbadan hukum seharusnya dapat ditentukan cukup memastikan (i) terdaftar sebagai badan hukum, (ii) terdaftar sebagai penyelenggara kegiatan tertentu di lingkungan kementerian negara yang bersangkutan, dan (iii) diakreditasi oleh instansi pemerintah yang bersangkutan untuk kepentingan pembinaan mutu.

Misalnya, partai politik diharuskan oleh UU tentang Partai Politik untuk (i) mendapatkan status badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, dan (ii) terdaftar sebagai peserta pemilihan umum di Komisi Pemilihan Umum. Untuk mendapatkan status sebagai badan hukum dan status sebagai peserta pemilu itu tidak mudah, melainkan harus memenuhi banyak persyaratan. Kalaupun sudah berstatus badan hukum, mungkin saja, partai politik yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan menjadi peserta pemilu, sehingga kegiatannya untuk mendudukkan wakilnya di parlemen menjadi terhalang. Demikian pula organisasi kemasyarakatan yang aktif di bidang pendidikan, misalnya, mungkin saja tidak terdaftar atau tidak lagi terdaftar sebagai penyelenggara pendidikan yang terakreditasi, sehingga kegiatannya seakan dibekukan, meskipun eksistensinya sebagai organisasi tetap diakui. Tetapi, apabila organisasi itu melakukan pelanggaran tertentu yang dapat dijadikan alasan untuk dibubarkan sebagaimana mestinya, maka organisasi tersebut dengan sendirinya dapat pula dibubarkan dengan pembatalan statusnya sebagai badan hukum.

Ctt: UU Ormas terbaru adalah UU 17/2013 dan beberapa pasalnya sudah pernah diJR di MK.