Pewarisan merupakan salah satu hal yang cukup penting
eksistensinya dalam kehidupan setiap orang karena perihal pewarisan tidak
jarang menimbulkan sengketa atau bahkan pertengkaran saudara/keluarga yang
menjadi ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Sengketa atau
pertengkaran tersebut kerap terjadi apabila para ahli waris merasakan
ketidakadilan dalam pembagian harta warisan. Salah satu faktor yang bisa
menimbulkan ketidakadilan pembagian harta warisan adalah apabila di dalam
sebuah keluarga terdapat satu atau lebih anggota keluarga yang berbeda
agama/keyakinan dengan anggota keluarga yang lainnya, seperti yang terdapat pada
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368 K/AG/1995.
Putusan MA tersebut menyatakan bahwa ahli waris yang berbeda
agama dengan pewaris tidak patut menjadi ahli waris namun tetap tidak
menghilangkan haknya untuk mendapatkan bagian atas harta warisan si pewaris.
Pewaris di sini adalah kedua orang tua ahli waris yang beragama Islam,
sedangkan ahli warisnya adalah anak kandung pewaris yang salah satu dari keenam
orang anaknya keluar dari Agama Islam (murtad) dan berpindah ke Agama Kristen.
Ahli waris yang berpindah agama ini mendapatkan bagiannya atas
harta warisan pewaris sebagai penerima wasiat wajibah yang besarnya tidak lebih dari 1/3 bagian dari harta
warisan pewaris, yang didasarkan pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Bunyi
Pasal 209 KHI memang tidak sesuai dengan kasus putusan MA tersebut, namun
majelis hakim tetap berupaya memberikan keadilan bagi ahli waris yang berpindah
agama tersebut dengan cara mengandaikan si ahli waris sebagai anak angkat.
Walaupun tidak bisa menjadi ahli waris yang sah, namun tetap bisa mendapatkan
haknya sebagai anak sah dari si pewaris dengan menerima wasiat atau hibah.
Wasiat atau hibah tersebut sebaiknya dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia.
Terdapat dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris
non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli
1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris
non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan
wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan iniahli waris
non musim tidak dinyatakan sebagai ahli waris.
Sedangkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa
ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan
mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat
wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap
sebagai ahli waris.
Dari dua putusan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
melalui yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris
Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menjadi memberikan
harta bagi ahli waris non muslim, dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim
sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non
muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain
Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim
dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim.
Putusan tentang hak waris isteri yang berbeda agama dengan
suaminya (putusan MA No. 16K/AG/2010) menjadi salah satu yang agak berbeda
dibanding yang lain. Putusan ini juga memperlihatkan perkembangan putusan hakim
mengenai waris Islam.
Pemberian bagian berupa wasiat wajibah kepada anggota keluarga
yang berbeda agama juga disinggung dalam putusan No. 368 K/AG/1995 dan putusan
No. 51K/AG/1999. Putusan-putusan perkara waris dan hukum keluarga pun dipandang
sudah mengalami kemajuan.
Pada hari Rabu tanggal 30 April 2010, majelis hakim yang
diketuai oleh Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H , M.H., dengan anggota Prof. Dr.
Rifyal Ka’bah, M.A. dan Drs. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H. mengeluarkan
keputusan yang bernomor 16K/AG/2010 dimana keputusannya adalah memberikan
bagian warisan kepada Evie Lany Mosinta yang beragama Kristen (Kafir) dari
peninggalan suaminya Ir. Muhammad Armaya bin Renreng yang beragama Islam.
Dalam keputusan tersebut diceritakan bahwa Ir. M. Armaya bin
Renreng (MAR) menikahi Evie Lany Mosinta (ELM) pada tanggal 1 November 1990 dan
tercatat secara resmi di catatan sipil. Selama pernikahan mereka tidak
dikaruniai anak. Pada tanggal 22 Mei 2008 MAR meninggal dunia dalam keadaan
masih memeluk agama Islam, beliau meninggalkan harta warisan dan 5 ahli waris
yaitu : Halimah Daeng Baji (Ibu Kandung), Dra. Hj. Murnihati binti Renreng
(saudara kandung perempuan), Dra. Hj. Muliyahati binti Renreng (saudara kandung
perempuan), Djelitahati binti Renreng (saudara kandung perempuan) dan Ir. Arsal
bin Renreng (saudara kandung laki-laki). Namun sampai MAR meninggal dunia, ELM
masih tetap beragama Kristen.
Sebelumnya dalam pengadilan agama Makassar telah ditetapkan
keputusan yang bernomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks tanggal 12 maret 2008/5 Rabiul
Awal 1430 H yang intinya berbunyi :
- Harta milik MAR dibagi 2 dengan ELM karena merupakan harta
gono-gini.
- Bagian ½ MAR diserahkan kepada 5 ahli waris diatas dengan
pembagian (pokoknya adalah
30) :
- Untuk Ibu kandung mendapat 1/6 x 30 = 5 bagian,
- Untuk Saudara kandung perempuan yang berjumlah 3 masing-masing mendapat
1/5 x 25 = 5 bagian,
- Saudara laki-laki 2/5 x 25 = 10 bagian.
Keputusan ini ditolak oleh penggugat dan diajukan banding, namun
Pengadilan Tinggi agama Makassar menguatkan keputusan tersebut dengan nomor
59/Pdt.G/2009/PTA.Mks tanggal 15 Juli 2009/22 Rajab 1430 H. Kemudian tidak puas
penggugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan keluarlah keputusan Mahkamah
Agung dengan nomor di atas.
Inti dari isi keputusan MA adalah :
- Menetapkan harta gono-gini antara MAR dengan ELM sebesar 1/2
bagian dan 1/2 bagian.
- ELM berhak mendapatkan harta warisan dari ½ harta MAR bersama
5 ahli waris diatas,
sehingga pembagiannya adalah (pokoknya adalah 60) :
• Untuk Ibu kandung menerima 10/60 bagian.
• Untuk ELM menerima 15/60 atau ¼ bagian.
• Untuk Saudara kandung perempuan yang berjumlah 3 masing-masing 7/60 bagian.
• Untuk Saudara kandung laki-laki sebanyak 14/60 bagian.
Alasan yang mendasari keputusan MA memberikan harta warisan
kepada ELM yang notabene tidak seagama dengan MAR yaitu :
1. Alasan undang-undang bahwa perkawinan mereka sah dan tercatat
di catatan sipil
sehingga mengacu kepada undang-undang perdata.
2. ELM sebagai istri MAR telah mengabdi kepada suaminya selama
kurang lebih 18 tahun.
3. Para ulama seperti Yusuf al-Qordhawi telah memberikan fatwa
bolehnya non Muslim
mewarisi seorang muslim.
4. MA menganggap hal tersebut sebagai wasiat wajibah.
Pengadilan Tinggi Agama sebenarnya mengakui adanya hak Sri
berdasarkan wasiat wajibah, tetapi jumlahnya hanya tiga perempat dari bagian
seorang anak perempuan ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah harta yang
bisa diperoleh Sri, dari 3/4 tiga perempat menjadi sama dengan bagian yang
diperoleh seorang ahli waris perempuan.
Pertimbangan dan putusan MA yang
mengakui hak anak yang berbeda agama atas waris terdapat dalam register perkara
No. 368K/AG/1995. Putusan atas perkara ini baru dijatuhkan tiga tahun kemudian.
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang
yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’
Menurut pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, anak
angkat ataupun orang tua angkatnya berhak mendapatkan wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga), apabila anak angkat atau orang tua
angkatnya tidak menerima wasiat, maka dengan demikian wasiat wajibah adalah
merupakan jalan keluar dari pada anak angkat atau orang tua angkat untuk
mendapatkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menetapkan bahwa antara anak angkatdan orang tua angkat terbina hubungan saling
berwasiat. Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176
sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak
akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi
Hukum Islam orang tua angkat secara serta marta dianggap telah meninggalkan
wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari
harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk
orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa
sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat
wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.
Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut dapat menjadi dasar bagi
Notaris/PPAT jika diminta membuat akta pembagian harta warisan, jika diantara
para penghadap ada yang berbeda agama (Islam)
Sumber : Habib Adjie