Dr. Diah Sulistyani RS,SH,SpN,MHum
Pasal 11 ayat (1) UU No.42 Tahun 1999 menyatakan bahwa benda
yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Begitu pula terhadap
benda lain yang berada di luar wilayah Negara RI (Pasal 11 ayat 2). Dalam
Konsiderans UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia antara lain dirumuskan
bahwa keberadaan UU tentang Jaminan Fidusia diharapkan memberikan kepastian
hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi yang berkepentingan dan jaminan
tersebut perlu didaftarkan di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Penggunaan
kata-kata perlu dan wajib tersebut mengandung sifat ambigu/ mendua (ambiguity)
dan multitafsir yang jauh dari prinsip kepastian hukum (legal certainty, lex
certa).
Keragu-raguan tentang wajib atau tidaknya pendaftaran tersebut
diperkuat dengan kendala tidak adanya batasan jangka waktu pendaftaran jaminan
fidusia di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Sehingga hal tersebut akan
mengurangi kepercayaan para pelaku bisnis khususnya kreditur sebab sifat
spesialitas dan publisitas serta hak preferent (droit de preference) atau hak
untuk didahulukan terhadap kreditur lain pasti mengalami kendala dan dispute
apabila debitur melakukan wanprestasi serta berpotensi fidusia ulang.
Namun
dengan mempertimbangkan pola pemikiran (mindset) birokrasi yang selalu berpikir
positivistic yang mengutamakan moralitas kepentingan Negara, maka sebaiknya
penerima fidusia tidak berpikir spekulatif. Sehingga kata wajib sebagaimana
tersurat dalam Pasal 11 ayat (1) harus ditafsirkan imperatif .
Penerima
fidusia yang tidak melakukan perikatan fidusia jelas bertentangan dengan legal
spirit yang diatur dalam Pasal 5 (1) UU No.42 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa
“Pembebanan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia
dan merupakan Akta Jaminan Fidusia”. Sekalipun tidak dilakukannya perikatan
fidusia tidak mengandung sanksi berdasarkan UU No.42 Tahun 1999 tersebut. Dalam
hal ini sama sekali tidak ada kepastian hukum dan pihak-pihak yang
berkepentingan tidak akan memperoleh perlindungan hukum.
Akhir-akhir ini memang kecenderungan untuk membuat pengikatan
jaminan fidusia dilakukan di bawah tangan oleh sebagian kreditur, dan jaminan
perlindungan hukum terhadap kreditur biasanya dilakukan dengan kesepakatan
“kuasa jual” atau “kesediaan bahwa barang tersebut dapat diambil secara fisik”
apabila debitur wanprestasi yang cenderung menimbulkan masalah tersendiri.
Serta penggunaan “kuasa menjaminkan secara fidusia” yang dibuat di bawah tangan
juga berpotensi rawan terhadap legalitas tandatangan di dalam kuasa tersebut, dimana
apabila debitur berpotensi macet maka akan dilakukan pengikatan jaminan fidusia
secara Notariil berdasarkan kuasa tersebut yang kemudian akan dilaksanakan
pendaftaran di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia.
Kedua hal tersebut di atas
baik “kuasa jual” dan “kuasa menjaminkan” apabila dilaksanakan jelas sangat
bertentangan dengan rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Mengingat UU No.42 Tahun 1999 telah mengatur cara-cara eksekusi yang lebih
memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Belum lama ini muncul Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.130/PMK.010/2012 yang sangat tepat sekali guna menjamin kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Mengingat UU No.42 Tahun 1999
banyak mengandung kelemahan-kelemahan antara lain :
1. Tidak diatur jangka waktu pendaftaran akta jaminan
fidusia.
2. Rawan terjadi fidusia ulang, dan berpotensi konflik karena tidak
ada jangka waktu pendaftaran.
3. Tidak ada sanksi yang tegas terhadap
pengikatan jaminan fidusia yang dilakukan di bawah tangan.
4. Tidak ada sanksi
yang tegas terhadap penggunaan “kuasa jual” yang jelas-jelas bertentangan
dengan cara-cara eksekusi sesuai UU No.42 Tahun 1999 sehingga berpotensi tidak
memberikan rasa keadilan bagi debitur.
5. Maraknya pengunaan kuasa menjaminkan secara di bawah tangan
berpotensi konflik juga mengingat terkait dengan keabsahan tanda tangan dalam
kuasa tersebut, kecuali dilegalisasi oleh Notaris atau dibuat kuasa notarial.
6. Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia belum dibuka sampai
kepelosok-pelosok wilayah Indonesia, karena kebanyakan konsumen perusahaan
pembiayaan banyak bertempat tinggal di pelosok-pelosok.
7. Tidak ada keseragaman penggunaan Data Base di Kantor
Pendaftaran Jaminan Fidusia sehingga rawan Fidusia Ulang.
Setidak-tidaknya keberadaan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.130/PMK.010/2012 telah membawa angin segar bagi perusahaan
pembiayaan untuk ikut mendukung “good corporate governance” dan menjamin rasa
keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum di dunia hukum dan dunia usaha dengan
diaturnya hal-hal sebagai berikut:
1. Menekankan ketentuan wajib mendaftarkan jaminan fidusia di
Kantor Pendaftaran Fidusia.
2. Menegaskan jangka waktu pendaftaran merupakan
langkah untuk menjamin kepastian hukum.
3. Menekan tindakan yang bertentangan
dengan rasa keadilan dengan mengatur masalah tata cara penarikan benda jaminan
fidusia.
4. Penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran ketentuan tersebut
sangat diperlukan sebagai upaya paksa juga untuk pelaksanaan pendaftaran obyek
jaminan fidusia.
5. Lebih memberikan rasa keadilan karena dengan dilaksanakan
Pendaftaran obyek jaminan fidusia, maka apabila debitur wanprestasi akan
ditempuh cara-cara eksekusi sesuai UU No.42 Tahun 1999.
Memang tidaklah mudah
bagi Perusahaan Pembiayaan untuk melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan
tersebut, karena ada beberapa hal yang menjadi kendala yaitu :
1. Debitur akan
terbebani dengan tambahan biaya pembuatan akta jaminan fidusia secara Notariil
berikut biaya pendaftarannya.
2. Debitur Perusahaan Pembiayaan yang terletak di
pelosok-pelosok akan sulit melaksanakan penandatangan dihadapan Notaris karena
letaknya jauh dari tempat tinggal debitur.
3. Kantor Pendaftaran Jaminan
Fidusia yang belum sampai ke pelosok-pelosok daerah.
4. Penggunaan kuasa
menjaminkan secara di bawah tangan rawan akan keabsahan tanda tangannya, dan
tidak semua Notaris bersedia untuk menuangkan dalam Akta Notariil.
5.
Berpengaruh terhadap omzet penjualan karena ada beban tambahan biaya dan teknis
penandatanganan akta secara Notariil.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut diatas, secepatnya harus
ditindaklanjuti dengan Amandemen UU No.42 Tahun 1999 atau dapat dilaksanakan
pembaharuan hukum UU No.42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia (law reform)
karena adanya krisis kepercayaan terhadap para pelaku bisnis sebagai berikut
:
Berikut ini saya mengusulkan adanya law reform dalam sistem
Jaminan Fidusia.
KETENTUAN NORMATIF UU 42/1999
-Pasal 11 ketentuan obyek jaminan fidusia wajib didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Fidusia.
-Tidak ada ketentuan secara tegas limit waktu maksimum obyek
jaminan fidusia harus dilaksanakan pendaftaran.
-Tidak ada sanksi tegas apabila tidak didaftarkan.
-Diharapkan dengan pendaftaran, kreditor mempunyai hak preferent
untuk diahulukan pelunasannya.
-Pasal 5 secara tegas diatur harus dibuat secara Akta Notariil
dalam Bahasa Indonesia.
PELAKSANAAN DALAM PRAKTIK
-Pasal 11 dalam praktik banyak obyek jaminan fidusia tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Kreditor memberikan alasan efisiensi waktu dan biaya.
-Banyak Kreditor menunda pendaftaran karena tidak ada jangka waktu pendaftaran , hal ini berpotensi fidusia ulang. -Kreditor banyak membuat akta jaminan fidusia tanpa didaftarkan.
-Pasal 7 larangan fidusia ulang, namun karena tidak didaftarkan maka berpotensi konflik dan menyebabkan fidusia ulang, akibat tidak didaftarkan (tidak ada kepastian hukum). -Tidak ada database yang kuat di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia, masih dilakukan secara manual. Berpotensi konflik karena data obyek yang didaftarkan tidak dapat diperoleh secara informatif dan memakan waktu. Karena tidak ada sanksi tegas apabila tidak dibuat secara Notariil maka banyak kreditor membuat aktanya secara di bawah tangan atau tidak sesuai standard Undang-Undang.
-Pasal 11 dalam praktik banyak obyek jaminan fidusia tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Kreditor memberikan alasan efisiensi waktu dan biaya.
-Banyak Kreditor menunda pendaftaran karena tidak ada jangka waktu pendaftaran , hal ini berpotensi fidusia ulang. -Kreditor banyak membuat akta jaminan fidusia tanpa didaftarkan.
-Pasal 7 larangan fidusia ulang, namun karena tidak didaftarkan maka berpotensi konflik dan menyebabkan fidusia ulang, akibat tidak didaftarkan (tidak ada kepastian hukum). -Tidak ada database yang kuat di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia, masih dilakukan secara manual. Berpotensi konflik karena data obyek yang didaftarkan tidak dapat diperoleh secara informatif dan memakan waktu. Karena tidak ada sanksi tegas apabila tidak dibuat secara Notariil maka banyak kreditor membuat aktanya secara di bawah tangan atau tidak sesuai standard Undang-Undang.
USULAN KETENTUAN HUKUM UNTUK LAW REFORM UU JAMINAN
-Amandemen UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, agar
lebih memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
-Pasal 11 tentang wajib pendaftaran obyek jaminan fidusia diberi
limit maksimum jangka waktu pendaftaran agar menjamin kepastian hukum dan tidak
berpotensi konflik akibat penundaan pendaftaran, karena apabila ditunda
pendaftarannya maka tidak mempunyai hak preferent untuk didahulukan pelunasan
hutangnya.
-Depkumham memikirkan agar mempunyai database pendaftaran
jaminan fidusia yang lebih akurat, dan pihak lain atau masyarakat yang
membutuhkan informasi akurat, lengkap.
-Sanksi yang tegas terhadap pelanggaran
Pasal 5 tentang wajib membuat dalam bentuk Akta Jaminan Fidusia Notariil.
Karena menyangkut perlindungan konsumen. Apabila dibuat secara Notariil, maka
Notaris wajib membacakan dengan jelas isi akta jaminan fidusia sehingga para
pihak mengerti maksud dan ujuan dari pengikatan jaminan fidusia (ketentuan
Pasal 16 (1) huruf l UURI No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dimana
Notaris berkewajiban membacakan akta dihadapan para penghadap.
Sumber : medianotaris.com