Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi
satu, menjadi harta bersama. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer) disebutkan dalam Pasal 119 bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya
kedalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Lebih lanjut lagi dalam ayat 2
nya bahwa persatuan (percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh
ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami istri.
Harta persatuan
itu menjadi kekayaan bersama Apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan
bersama itu harus dibagi dua sehingga masing-masing mendapat separuh.
Perjanjian Perkawinan : perjanjian yang dibuat oleh dua orang
calon suami-isteri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur
akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.
Pasal 29 UU No. 1/1974
tentang Perkawinan :
1.Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatan Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
3.Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Isi Perjanjian Perkawinan :
1.Perjanjian Perkawinan dengan kebersamaan
untung rugi.
2.Perjanjian Perkawinan dengan kebersamaan
hasil dan pendapatan.
3.Perjanjian Perkawinan – peniadaan terhadap setiap kebersamaan harta kekayaan
(pisah harta sama sekali).
Untuk
memenuhi unsur publisitas Perjanjian Perkawinan wajib
didaftarkan pada instansi yang telah ditentukan, pentingnya pendaftaran
ini agar pihak ketiga menetahui dan tunduk pada Perjanjian Perkawinan tersebut,
misalnya jika terjadi jual beli oleh suami atu isteri, jika ada Perjanjian
Perkawinan, maka perjanjian tersebut akan mengikatnya dalam tindakkan hukum
yang akan dilakukannya.
Jika Perjanjian Perkawinan tidak didaftarkan, maka
hanya akan mengikat dan berlaku para pihak (suami/isteri) yang membuatnya. Hal
ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 – 1314 dan 1340 KUHPerdata.
Pencatatan/pendaftaran
Perjanjian Perkawinan untuk suami – isteri yang beragama Islam dilakukan di
Kantor Urusan Agama (KUA) setempat atau di KUA perkawinan dicatatkan. Dan untuk
suami-isteri yang tidak beragama Islam dilakukan di Kantor Catatn Sipil.
Perubahan
Perjanjian Kawin. Pada dasarnya Perjanjian Kawin tidak
dapat dirubah selama perkawinan berlangsung, kecuali bila dari kedua belah
pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga,
demikian bunyi Pasal 29 ayat (4) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-undang tidak memberikan penjelasan bagaimana mekanisme
pencabutan atau perubahan Perjanjian Kawin yang telah dibuat oleh suami isteri
tersebut.
Dalam
praktek ada juga Perjanjian Perkawinan dibuat setelah perkawinan berlangsung.
Hal ini bisa saja dilakukan dengan ketentuan suami dan isteri tersebut terlebih
dahulu mengajukan Permohonan Penetapan ke pengadilan
negeri agar diizinkan membuat Perjanjian Perkawinan setelah mereka menikah.
Berdasarkan Penetapan tersebut datang kepada Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan
yang akan berlaku sejak tanggal akta dibuat. Jika ini dibuat terlebih wajib
diumumkan pada surat kabar/koran untuk menghindari sanggahan atau keberatan
dari pihak ketiga.
Perkembangan ini dapat dilihat dari adanya pembuatan
Perjanjian Kawin dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan dengan dasar
Penetapan Pengadilan Negeri.
Contoh
:
a.
Penetapan Nomor 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel.
b.
Penetapan Nomor 326/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Bar.
c.
Penetapan Nomor 207/Pdt/P/2005/ PN.Jkt.Tim.
d.
Penetapan Nomor 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tim.
Sumber : Habib Adjie