Friday, 26 June 2015

Tindakkan Hukum Terhadap Harta Bersama.




HARTA BERSAMA (GONO-GINI) Diperoleh selama perkawinan berjalan (terhitung sejak perkawinan dilangsungkan sampai perkawinan yang bersangkutan berakhir karena cerai (hidup) atau salah satu dari suami-isteri tersebut meninggal dunia.

Jika dilakukan penjualan, hibah, dijaminkan atau pengalihan seperti tukar-menukar, pemasukan ke dalam perseroan atau tindakan hukum lainnya yang bersifat mengalihkan hak, maka harus dilakukan secara bersama-sama oleh suami-isteri yang bersangkutan atau memberikan kuasa dan persetujuan kepada salah satu pihak secara tertulis (Notaril).

Baik datang ke hadapan Notaris/PPAT atau secara tertulis harus dicantumkan kalimat memberikan Persetujuan dan Kuasa, kenapa ? Karena dalam harta bersama ada bagian suami/isteri. Misalnya jika sertifikat tertulis nama isteri, maka isteri memberikan Persetujuan kepada suami untuk menjual bagian/hak suami dan isteri memberikan kuasa kepada suami untuk menjual bagian isteri. Jika ini tidak dilakukan maka isteri dapat menggugat suami, dengan alasan isteri hanya memberikan Persetujuan untuk menjual kepada suami (bagian/hak suami saja), tapi tidak memberika kuasa untuk menjual kepada suami untuk menjual bagian/hak isteri.

HARTA BAWAAN/ HARTA ASAL
Diperoleh oleh masing-masing suami-isteri :
1. sebelum perkawinan dilangsungkan;
2. berasal dari warisan/hibah selama perkawinan berlangsung.
3. karena perjanjian pisah harta sama sekali.
4.  Jika dilakukan penjualan, hibah, dijaminkan atau pengalihan seperti tukar-menukar, pemasukan ke dalam perseroan atau tindakan hukum lainnya yang bersifat mengalihkan hak, dilakukan oleh pemiliknya sendiri.
5. Terhadap harta ini suami /isteri berhak untuk mengurus atau menikmati harta bawaan isteri dan sebaliknya.

Menurut UU Nomor. 1/1974 (Pasal 35 – 37 UU), kelompok harta yang mungkin terbentuk :
1. Harta Bersama (gono-gini);
2. Harta Pribadi :

i.   Harta Bawaan suami;
ii. Harta Bawaan Isteri;
iii. Harta suami berasal dari hibah atau warisan;
iv. Harta isteri berasal dari hibah atau warisan.

Suami atau isteri bertanggungjawab atas segala hutang pribadinya yang dibuat sebelum perkawinan atau yang dibuat setelah perkawinan dengan jaminan harta pribadi/harta bawaannya. Suami dan isteri bertanggungjawab secara bersama-sama atas segala hutang yang dibuat selama perkawinan jaminan dengan harta bersama.

Jika terjadi perceraian, suami-isteri mempunyai yang bagian yang sama besar atas harta bersama (Putusan MA nomor : 1448/K/Sip/1974, tanggal 11 November 1967). Jika terjadi perceraian dan diantara suami isteri belum dilakukan pembagian atau pemisahan atas harta bersama tersebut, maka tindakan hukum mantan suami atau isteri seperti menjual, menghibahkan, menjaminkan atau pe-ngalihan seperti tukar-menukar, pemasukan ke dalam perseroan atau menyewakan atau tindakan hukum lainnya yang bersifat mengalihkan hak wajib dilakukan secara bersama-sama atau dengan kuasa atau persetujuan (Notaril).

Sifat Harta Persatuan :
a. Antara suami-isteri tidak diperkenankan mengadakan perjanjian jual-beli (Pasal 147 KUHPerdata).
b. Suami-isteri tidak boleh saling hibah-menghibahkan (Pasal 1678 KUHPerdata).
c. Antara suami-isteri tidak boleh saling tukar-menukar (Pasal 1546 jo 1467 KUHPerdata).
d. Antara suami-isteri tidak boleh mengadakan perjanjian perburuhan (Pasal 1601 I KUHPerdata).

YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINDAKKAN HUKUM TERHADAP HARTA BERSAMA :

Putusan MARI No. 2691 K/PDT/1996 tanggal 18 September 1998 (jual-beli tanah harta bersama) : perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan belum dibuat di depan notaris maka belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan karena itu tidak mempunyai akibat hukum. perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri maka perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.

Putusan MARI No. 701 K/PDT/1997 tanggal 24 Maret 1999 (jual - beli tanah harta bersama) : jual-beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak istri atau suami. Harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan istri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual-beli yang tidak sah tidak mempunyai kekua tan hukum.

Putusan MARI No. 1851 K/PDT/1996 tanggal 23 Pebruari 1998 (menjaminkan harta bersama) : menyatakan bahwa BPD Sumatera Utara telah lalai menerapkan prinsip kehati-hatian yang mengharuskan manajemen meneliti status tanah agunan. Pihak penggugat adalah isteri tergugat yang tidak turut menandatangani surat agunan tersebut. Pembebanan tanah harta bersama tersebut harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum dengan dasar pertimbangan adil dan patut. dalam perkara ini bank pembangunan daerah sumatera utara mengajukan permohonan eksekusi karena telah adanya penjaminan utang yang dibuat dalam grosse akta. pengajuan eksekusi ini ternyata menimbulkan akibat hukum lain, dalam hal ini penggugat merasa dirugikan dengan permohonan eksekusi tersebut. penggugat merasa dirugikan karena objek yang dimohonkan eksekusi adalah harta bersama.

Putusan MARI No. 209 K/PDT/2000 tanggal 26 Februari 2002 (menjaminkan harta bersama) : putusan batal demi hukum atas perjanjian kredit tersebut disebabkan tidak terpenuhinya suatu sebab yang halal sebagaimana diatur dalam pasal 1320 bw. objek yang diperjanjikan adalah harta bersama sehingga apabila hendak dijaminkan/dialihkan kepada pihak lain oleh suami harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang berhak.

Putusan MARI No. 82 K/PDT/2004 tanggal 22 Mei 2007 (jual beli tanah warisan) : perjanjian jual-beli tanah warisan batal demi hukum karena boedel waris belum terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual-beli, dilakukan tanpa izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, belum ada pembagian dan pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jual-beli tanah warisan juga melampaui hak.

Putusan MARI No. 3005 K/PDT/1998 tanggal 14 Januari 2008 (utang piutang dengan jaminan tanah) : tanah hak milik yang merupakan harta bersama, tidak dapat dijadikan jaminan atas perjanjian utang piutang tanpa persetujuan salah satu pihak, baik itu pihak istri maupun suami, sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat (1) uu no. 1 tahun 1974. dengan demikian, perjanjian yang melanggar ketentuan tersebut dapat dibatalkan demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian (sebab yang halal).

PROBLEMATIKA
Dalam praktek Notaris dan PPAT : ada suami-isteri yang terikat perkawinan tapi tidak mempunyai bukti tertulis, dan mempunyai harta benda perkawinan (benda tidak bergerak), jika ingin dijual/ dijaminkan / dihibahkan, bagaimana membuktikan secara formal bahwa mereka suami-isteri ?

TAWARAN SOLUSI:
i. mengajukan permohonan itsbath (dari pengadilan agama untuk yang beragama Islam) atau penetapan (dari pengadilan negeri), atau :
ii. meminta keterangan dari kelurahan/kecamatan sebagaimana data dalam kartu keluarga atau data di kelurahan/kecamatan telah menikah/ suami isteri, atau :
iii. menuliskan status perkawinan mereka dalam komparisi, dengan kalimat sbb: menurut keterangan penghadap telah menikah berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan tidak dicatatkan berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

KESIMPULAN :
1. tindak hukum terhadap harta milik bersama terikat (gebonden mede-eigendom) : dijual/dijaminkan wajib memperoleh persetujuan (tertulis) dari 
• suami/isteri jika harta bersama perkawinan.
• para ahli waris lainnya jika berasal dari harta warisan.
2. jika hal tersebut tidak dilakukan, maka :
•tindakkan/perjanjian tersebut tidak sah/batal demi hukum/tidak berkekuatan hukum.
•terhadap notaris/PPAT yang membuat aktanya dapat dituntut ganti kerugian oleh para pihak yang merasa dirugikan atas hal tersebut dengan alasan ketidakcermatan dalam menerapkan ketentuan hukum yang ada.

Sumber :  Habib Adjie