Dalam praktek Notaris/PPAT saat ini ada satu tindakkan hukum
yang dapat dikategorikan ”kesalahan kolektif yang disadari” yaitu mengenai penerapan
pengetahuan keilmuan dan kemampuan untuk menerapkan hal-hal yang berkaitan
dengan Perjanjian Kredit beserta jaminannya, antara lain harus kita ketahui
dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau UUHT.
CIRI HAK TANGGUNGAN, ANTARA LAIN :
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, yaitu dengan cara :
a.
Menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UUHT).
b.
Penjualan objek Hak Tanggungan secara
dibawah tangan, jika dengan cara tersebut akan diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) UUHT).
c.
Memberikan kemungkinan penggunaan Parate
Eksekusi seperti yang diatur dalam Pasal 244 HIR dan 258 Rbg (Pasal 26 juncto
Pasal 14 UUHT).
Ciri
Hak Tanggungan sebagaimana tersebut di atas di atas dalam praktek pemberian
jaminan sering disimpangi, yaitu sudah tahu dan pasti bahwa objek sudah dalam
jaminan bank dan (akan) dibebani Hak Tanggungan, yang berarti hak kebendaan
tersebut sudah ada pada Kreditur, dan Debitur sudah tidak punyak hak apapun
lagi, yang seharusnya menurut hukum jika terjadi Debitor Cidera janji atau
Wanprestasi, prosedur hukumnya yaitu dijual melalui Lelang, hal ini sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam UUHT.
Tata
cara atau prosedur seperti ini merupakan perintah UUHT, dan tidak perlu
dicarikan terbosan (hukum) lain untuk melakukan penyimpangan, dengan dibuatkan
akta Kuasa Untuk Menjual.
Dalam
kalimat yang lain yaitu pada praktek, ketika Notaris/PPAT melakukan semua
tindakkan hukum yang berkaitan dengan Perjanjian Kredit atau Pinjam Meminjam
Uang dengan Jaminan atau Pengakuan Hutang, antara lain sebagai PPAT membuat
akta APHT kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan tetempat ataupun dibuat
hanya dalam bentuk SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) saja.
Ada
satu tindakkan Notaris, entah saran Notaris (atau kesadaran Notaris/PPAT)
kepada Bank atau permintaan Bank yang dikabulkan oleh Notaris, yaitu dibuat
Akta Kuasa Menjual dari Pemilik (Debitur) kepada Bank (Kreditur), dengan alasan
jika Debitur Wanprestasi, maka prosedur lelang (Pelelangan Umum) yang diatur
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT dapat dihindari atau tidak dilakukan oleh
Bank, padahal menurut ketentuan seperti itu sebagaimana tersebut dalam Pasal 20
ayat (4) UUHT janji atau tindakkan hukum seperti itu Batal Demi Hukum.
Hal
ini tidak disadari oleh Notaris dan Bank. Bank melakukan tindakkan seperti itu
dengan alasan alasan ”jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika Debitur
membayar utangnya lancar. Apapun alasannya tidak dapat
dibenarkan menurut UUHT.
Di
dalam praktek, bank (kreditor) selain meminta di pasang hak tanggungan juga
meminta dibuatkan kuasa menjual tersendiri. Dalam hal ini ada larangan untuk
kuasa menjual atas agunan sebagaimana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia tanggal 27 Pebruari 1989 nomor : 2660/K/Pdt/89 yang isinya
melarang agunan untuk perjanjian kredit dijual secara dibawah tangan, artinya
agunan wajib dijual melalui penjualan umum (lelang) berdasarkan penetapan pengadilan
negeri.
Sebenarnya
jika Debitur setelah dipastikan Wanprestasi, boleh saja tidak melalui prosedur
lelang, dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual, setelah dipastikan
Debitur Wanprestasi, dapat ditempuh berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan
(3) UUHT. yaitu :
Dibuat kesepakatan antara pemberi
dan pemegang hak tanggungan, untuk menjual dibawah tangan untuk memperoleh harga
tertinggi dan menguntungkan semua pihak.
Penjualan
dilakukan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
dilakukan pemberitahuan oleh pemberi/pemegang hak tanggungan kepada pihak yang
berkepentingan.
Diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar di daerah
yang bersangkutan.
• Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut.
•
Agar
praktek seperti itu tidak dilakukan oleh Bank, seharusnya Bank Indonesia (BI)
yang berwenang melakukan pengawasan kepada semua Bank di Indonesia menegur dan
menertibkan bank-bank yang melakukan tindakkan hukum yang tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 dan 20 UUHT, jika tetap dilakukan, maka indikasi ada praktek
pemberian jaminan yang tidak sehat dan melanggar UUHT, demikian pula untuk para
Notaris, tidak perlu menyarankan dan memenuhi permintaan Bank seperti itu,
karena sudah tahu akta kuasa menjual (jika akta Notaris) ataupun dibawah tangan
yang didaftar atau dilegalisasi seperti itu maka Batal Demi Hukum, jadi hal
tersebut secara hukum dianggap tidak pernah ada, dan juga kepada para PPAT
tidak perlu melayani pembuatan akta jual beli yang kuasa untuk menjual dalam
keadaan seperti tersebut di atas, karena didasarkan pada akta yang batal demi
hukum, maka akta jual belinyapun tidak berlaku atau noneksis.
Bahwa terminologi akta batal demi hukum, maka akta yang bersangkutan
ataupun tindakkan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi sejak awal.
Dapat
kita bayangkan saat ini juga, jika ada pihak ketiga yang mengetahui dan
memahami hal tersebut, karena wanprestasi, tanah yang menjadi jaminan atas
hutangnya dijual oleh bank berdasarkan kuasa (atau kuasa kepada karyawan bank),
dan oleh PPAT ditindak lanjuti dengan akta PPAT, untuk hal ini dapat diajukan
gugatan kepada Notaris, PPAT dan Bank karena melakukan suatu perbuatan hukum
yang didasarkan pada akta atau tindakkan hukum yang telah batal demi
hukum.
Alasan
lain yang perlu diperhatikan, bahwa niat awal dari Debitur adalah meminjam uang
dengan jaminan, jika wanprestasi, maka jaminan tersebut dapat dijual melalui
pelelangan. Tapi oleh kreditur dijual tidak melalui lelang, tapi dijual
berdasarkan kuasa tadi. Berbeda niat awal sudah dapat dijadikan dasar untuk
membatalkan tindakkan hukum yang dilakukan oleh Bank dan Notaris PPAT
tersebut.
• Bahwa meminta kepada para Notaris agar kompak untuk tidak melakukan
dan tidak melayani tindakkan hukum seperti tersebut di atas karena permintaan
Bank, sangat sulit untuk dilakukan karena isi hati dan kepala tiap Notaris
sudah pasti berbeda, meskipun sama-sama Pejabat Umum.
Jika ada Bank yang meminta permintaan seperti itu, dan Notaris yang
bersangkutan tidak melayaninya, maka Bank akan menghentikan kerjasamanya dan
pindah ke Notaris lain, dan akan meminta Notaris lainnya agar mau diajak
kerjasama dan sama-sama bekerja untuk melanggar UUHT.
•
BATAL DEMI HUKUM PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA MENJUAL YANG DIBUAT
KETIKA OBJEK YANG DIJUAL DALAM JAMINAN BANK.
Sumber : Habib Adjie