Thursday, 5 February 2015

PEMBERIAN KUASA DALAM PRAKTEK PPAT/NOTARIS YANG AMAN DAN TERLINDUNGI


Hukum Agraria yang berlaku sekarang seharusnya merupakan salah satu alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tapi ternyata dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas, hal itu disebabkan terutama 1
  1. 1. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini; 
  2. 2. Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat di- samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa; 
  3. 3. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum. 


Salah satu lembaga hukum yang banyak mendapat sorotan dan perhatian adalah Pemberian Kuasa, sehingga masalah kuasa ini telah berkembang jauh dari pengaturan yang terdapat dalam BAB XVI KUHPerdata (Stb 1847-23). Karena pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian yaitu persetujuan, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian umumnya yang menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPerdata), berarti pemberi maupun penerima kuasa berhak memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Dalam praktek sehari-hari Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sering dihadapkan kepada Kuasa Mutlak, namun jika dicari pengaturannya tidak ditemukan didalam KUHPerdata, dengan kata lain KUHPerdata tidak mengatur mengenai surat kuasa mutlak tersebut.

Untuk keperluan pengendalian secara efektif terhadap penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah serta untuk menghindari pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk surat kuasa mutlak yang sangat mengganggu usaha penertiban status penggunaan tanah maka surat kuasa mutlak perlu segera untuk dicegah2, pemerintah mengeluarkan peraturan tahun 1982 yang berisi penegasan melarang kuasa mutlak dipakai sebagai alas hak untuk perbuatan hukum pemindahan/peralihan hak atas tanah. 

Dalam KUHPerdata pemberian kuasa diatur dalam BAB XVI mulai dari pasal 1792 s/d 1819 (28 pasal), selain dalam KUHPerdata yaitu dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) juga mengenal pemberian kuasa. Kuasa dalam UUHT ini bersifat sangat khusus yang diberi istilah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). 

Notaris/PPAT sebagai pengguna dari surat kuasa dituntut untuk memahami secara mendalam atas pengertian dan jenis dari suatu surat kuasa misalnya, apakah surat kuasa yang diserahkan kepada Notaris adalah suatu surat kuasa yang sah dan masih berlaku, sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar hukum penghadapan dari seseorang di muka Notaris atau PPAT mewakili pihak lain. Sebagai seorang professional, Notaris/PPAT wajib dan bertanggung jawab atas identitas dan legal standing dari penghadap oleh karenanya Notaris/PPAT harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu atas pertanyaan sebagai berikut : 
1.  Apakah surat kuasa tersebut masih berlaku atau sudah berakhir masa berlakunya.? 
2. Apakah surat kuasa tersebut telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat pemberian kuasa.? 

Dalam undang-undang berakhirnya suatu kuasa telah diatur secara limitatif. Dari hal-hal yang menyebabkan berakhirnya dan berakibat tidak berlakunya surat kuasa tersebut memberikan suatu peringatan kepada Notaris/PPAT bahwa pemberian kuasa sangat mungkin terjadi saat surat kuasa dipakai sebagai legal standing untuk membuat akta sudah berakhir atau tidak berlaku lagi. Oleh karenanya Notaris/PPAT diharapkan bertindak secara teliti atas keadaan dan kondisi dari surat kuasa tersebut. 

Selain masalah masa berlakunya sebuah surat kuasa, Notaris/PPAT akan dihadapkan juga kepada syarat subjektif dan objektif dari unsur-unsur perjanjian. Surat kuasa mutlak dilarang dipakai sebagai alas hak untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, alasan penerbitan instruksi tersebut adalah karena surat semacam itu dianggap sebagai pemindahan hak secara terselubung sehingga hal itu dianggap sebagai penghambat pengendalian dan penertiban kepemilikan tanah. Larangan penggunaan surat kuasa mutlak tersebut diatur kembali dalam Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan ini memerintahkan PPAT untuk menolak membuat akta tanah jika salah satu pihak memakai surat kuasa mutlak. Meskipun larangan ini hanya dalam bentuk Instruksi Menteri dan Peraturan Pemerintah tapi tergolong salah satu bentuk hukum positif yang mengandung aturan hukum publik yang bertujuan mengatur ketertiban umum dalam kegiatan transaksi jual beli tanah. 

Semakin kompleks tingkat transaksi dan semakin tinggi kebutuhan untuk mengamankan transaksi yang dilakukan, para pelaku bisnis tentunya meminta agar penasehat atau konsultan hukum mereka memberikan advis dan jalan yang terbaik guna mengakomodasi kebutuhan tersebut. Salah satu yang masih jamak dipraktikkan adalah penggunaan surat kuasa yang bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali, kebutuhan praktek ini diilhami oleh Putusan MA tanggal 16 Desember 1976 No.731 K/Sip/1975. Dalam putusan tersebut majelis hakim memberikan penafsiran atas Pasal 1813 KUHPerdata, bahwa berakhirnya suatu pemberian kuasa dalam ketentuan tersebut tidak bersifat limitatif dan tidak bersifat memaksa, oleh karena itu jika sifat suatu perjanjian menghendaki, dapat saja di dalam kuasa tersebut ditentukan pemberian kuasa mutlak dan tidak dapat dicabut kembali, artinya menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1976 No.731 K/Sip/1975 tersebut suatu pemberian kuasa mutlak yang tidak ber-alaskan suatu perjanjian yang sah adalah batal demi hukum.

Dalam akta perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah umumnya memuat surat kuasa yang berisi kuasa yang masuk dalam larangan sebagimana dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, namun kuasa mutlak tersebut tidak masuk dalam larangan sebagaimana diartikan kuasa mutlak karena kuasa tersebut diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak (khususnya calon pembeli) agar jual beli bisa dilangsungkan. Selain itu perjanjian pengikatan jual beli merupakan terobosan hukum untuk memenuhi kebutuhan riel masyarakat karena keadaan dan kondisi dimana persyaratan untuk melakukan jual beli belum memenuhi persyaratan yang diminta oleh hukum.

Diperkenankannya membuat surat kuasa mutlak selain putusan MA di atas juga didasarkan atas asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini mengajarkan, para pihak bebas mengatur persetujuan yang mereka kehendaki sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum, kepatutan, kesusilaan dan kepentingan umum (van openbare orde). Dengan demikian pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas (titel) hukum yang sah. Contoh yang umum dikemukakan adalah pencantuman kuasa mutlak dalam akta perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, yang diberikan untuk menjaga kepentingan penerima kuasa (pembeli) apabila hak-hak dari pemberi kuasa (penjual) sudah terpenuhi. 

PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS/PPAT YANG MEMBUAT DAN MEMPERGUNAKAN SURAT KUASA MUTLAK YANG TERLARANG. 

Bagaimana tanggung jawab Notaris/Pejabat PembuatAkta Tanah terhadap pembuatan akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak.? hal yang melatarbelakangi pertanyaan ini diajukan adalah karena umumnya penggunaan kuasa mutlak adalah salah satu cara untuk melakukan pemindahan hak atas tanah secara terselubung guna menghindari biaya-biaya dan pajak yang seharusnya dibayar oleh penerima kuasa, selain itu akan menyulitkan upaya-upaya pemerintah melakukan penataan dan pengaturan kepemilikan hak atas tanah. 

Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Akta PPAT harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu, Notaris/PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, baik syarat subjektif maupun syarat objektifnya, tujuannya adalah untuk sahnya perbuatan hukum yang dilakukan dihadapannya tersebut. Jika dalam pembuatan akta tersebut ternyata menjadikan aktanya tidak sah dan menimbulkan kerugian, maka akan dicari siapa yang bertanggung jawab atas ketidak sahan tersebut, untuk dimintakan pertanggung jawaban.

Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut dan dipersalahkan). Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yaitu pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) dan pertanggung jawaban mutlak (absolute responsibility). Pertanggung jawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita menemukannya dalam ketentuan pasal 1365, 1366 dan pasal 1367. Dari ketentuan-ketentan tersebut dapat dipahami bahwa seseorang yang melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain dapat dimintakan pertanggung jawaban dan tidak terkecuali Notaris/PPAT. 

  1. 1. Kalimat diatas adalah penjelasan UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA). Penjelasan ini menjadi Filosofi Pengembangan Hukum Agraria di Indonesia.Antara lain di terapkan kepada larangan kuasa mutlak dipakai sebagai alas hak untuk peralihan hak atas tanah. Terakhir filosofi tersebut terlihat dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No :1/KEP-7.1/I/2015 Tentang Pengangkatan dan Penempatan PPAT Dan Batas Maximum Pembuatan Akta. 
  2. 2. Pertimbangan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas tanah. Bandingkan dengan Putusan MA : No.731 K/ Sip/ 1975 Tgl. 16 Desember 1976 juncto No.2584 K/Pdt/1986 tanggal 14 April 1988. Dalam putusan tersebut diberikan alasan membatalkan surat kuasa mutlak sebagai alas hak penjual dalam jual beli tanah. Karena lembaga surat kuasa mutlak tidak bisa dibenarkan karena pada praktiknya kerap disalahgunakan untuk penyelundupan jual beli tanah. 
  3. 3. Pasal 1792 KUHPerdata memberi pengertian pemberian kuasa sebagai suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa 
  4. 4. Lihat Pasal 1813, 1814, 1815 KUHPer dan seterusnya antara lain ; penerima kuasa menarik kembali atau memberitahukan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa kepada pemberi kuasa; pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal dunia dan seterusnya.bandingkan juga dengan berakhirnya SKMHT dalam pasal 15 ayat (3,4) UUHT. 
  5. 5. Lihat Pasal 1320 KUHPerdata memuat syarat subjektif dan syarat objektif untuk sahnya suatu perjanjian.Syarat subjektif memberikan pengertian suatu perjanjian tersebut tetap sah sepanjang tifak dilakukan pembatalan, berbeda dengan syarat objektif, karena jika tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.Artinya sejak semula perjanjian tersebut tidak berakibat hukum. 
  6. 6. Alasan ini bisa dibaca dalam pertimbangan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas tanah. Yang dimaksud dengan surat kuasa mutlak adalah surat kuasa yang antara lain isinya memuat bahwa kuasa tersebut berisi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali dan atau kuasa yang berisi bahwa pada hakekatnya adalah pengalihan seluruh hak pemberi kuasa kepada penerima kuasa sehingga pemberi kuasa sudah tidak memiliki hak apapun terhadap objek yang dikuasakan 
  7. 7. Pasal 39 ayat (1) hurup c Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “ PPAT menolak untuk membuat akta, jika salah satu atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan peruatan hukum pemindahan hak.” 
  8. 8. Dalam praktek persyaratan tersebut terhalang karena pembeli adalah badan hukum (PT) sedangkan status hak atas tanah tersebut masih berstatus hak milik. Dalam pasal 21 UUPA disebut hanya WNI dan Badan Hukum tertentu yang boleh mempunyai Hak Milik Atas Tanah.Oleh karenanya perlu dan memerlukan waktu untuk merubah haknya menjadi Hak Guna Bangunan. 
  9. 9. Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH., MH, Asas-Asas Kontrak/Perjanjian, https://dukunhukum. wordpress.com/2012/04/09/asas-asas-kontrak-perjanjian. diakses pada tanggal 11 Januari 2014 jam 11.50 Wib.Ada beberapa asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut: Asas konsensualisme; Asas pacta sunt servanda; Asas kebebasan berkontrak; dan Asas iktikad baik.Asas Kebebasan Berkontrak mengajarkan, para pihak bebas mengatur persetujuan yang mereka kehendaki sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan, moral, kepatutan, kesusilaan dan agama dan Kepentingan umum (van openbare orde). 
  10. 10. Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia, Apollo Lestari, Surabaya,1997, hlm.576 
  11. 11. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen TentangHukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia, Jakarta, 2006, hlm 61. Bandingkan dengan tanggung jawab dalam hukum administrasi yaitu liability dan responsibility, Liability menunjuk kepada tanggung jawab yang meliputi hak dan kewajiban. Responsibility menunjuk pada tanggungjawab atas suatu kewajiban. 


HAPENDI HARAHAP, SH, MH adalah notaris/ PPAT yang sebentar lagi menyelesaikan studi S3-nya di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran.

Related Posts: