Pembatasan Akta adalah Ranah UU
Dr. Udin Narsudin, SH, MH
UU Tidak Mengatur Batas Jumlah Pembuatan Akta dalam Sehari
Pembatasan notaris dalam membuat akta dalam sehari menghangat dalam menyambut Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (KLB INI) di Tangerang 28-30 Mei 2015. Rencana untuk membatasi notaris membuat akta sehari 20 ini merupakan hasil rekomendasi Rapat Pleno Diperluas Ikatan Notaris Indonesia (INI), Solo, Oktober 2014. Usulan pembatasan akta per hari ini menurut penulis dihitung berdasarkan jam kerja per hari rata-rata tanpa dikurangi waktu istirahat dan lainnya kemudian dibagi 20 akta, yaitu sekitar 24 menit. Di forum KLB INI Tangerang masalah ini diperkirakan akan menjadi salah satu agenda pembicaraan. Doktor Udin Narsudin, SH, MH, notaris/ PPAT dan dosen yang kini menjabat Ketua Bidang Perundang-undangan PP IPPAT ini menyampaikan pendapatnya.
Seperti kita ketahui bahwa akta otentik yang dibuat oleh notaris diatur di dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1867, 1868 dan seterusnya yang merupakan jenis Undang-undang di dalam peraturan kita. Selanjutnya akta otentik diatur pula di dalam Undang-undang, sekali lagi : Undang-undang, yaitu Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 yang terakhir diubah dengan UU Nomor 2 tahun 2014.
Nah, dari sini saja sudah jelas, akta yang merupakan tugas dan wewenang jabatan notaris itu diatur dengan Undang-undang. Jadi, wewenang untuk mengubah atau menambahi aturan mengenai pembuatan akta otentik ini semestinya dilakukan Undang-undang juga, bukan? Tegasnya, masalah teknis pekerjaan notaris ini merupakan ranah UU. Menurut saya, mengherankan jika organisasi bisa merekomendasikan pembatasan pembuatan akta seorang notaris. Ini tidak tepat. Bukankah ini wewenang Undang-undang? Tidak tepat lagi bila pembuatan akta ini dihubung-hubungkan dengan etika atau pelanggaran etika, karena ini adalah ranah teknik, tatacara membuat akta.
Kemudian tidak mungkin teknik pembuatan akta diatur dengan kode etik, misalnya. Etik atau etika itu, kan mengatur soal moral? Nah, dalam soal teknis membuat akta, misalnya. Seorang notaris yang membuat akta lebih dari 20 belum tentu melanggar moral, dong? Apakah nanti bila seorang notaris yang membuat akta 40 dalam sehari terus dianggap tidak bermoral, karena diputuskan melanggar etika batas pembuatan akta sehari? Belum tentu juga jika dalam sehari seorang notaris dalam sehari membuat akta lebih dari 20 buah itu prosesnya melanggar aturan.
Bisa saja dalam prakteknya para penghadap membaca sendiri dengan cepat, kemudian si notaris menanyakan apakah sudah mengerti isi draf akta, dan kemudian notaris menjelaskan, yang kemudian hanya menghabiskan waktu 15 menit.
Di dalam praktek umumnya para penghadap sudah mengerti apa maksud kedatangannya menghadap notaris. Dalam hal ini notaris lebih singkat bekerja, yaitu tinggal membacakan atau menjelaskan. Nah, dengan demikian prosesnya lebih cepat dan memenuhi prosedur yang berlaku.
Misalnya dalam pembuatan akta kuasa menjual, sebelum hari penandatangan, kan biasanya ada kontak pembicaraan dulu dan penyerahan dokumen-dokumen, serta pengecekan-pengecakan. Nah, selanjutnya membuat janji untuk tandatangan akta, yang mana para pihak sudah paham tentang apa maksud mereka ketika menghadap notaris untuk tandatangan.
Apa sih masalahnya sehingga harus dibatasi pembuatan aktanya? Apakah karena dikhawatirkan pembuatan aktanya tidak cermat?
Jadi, tidak tepat kalau hal-hal teknis ini diatur dalam kode etik. Misalnya kode etik kedokteran yang mengatur masalah moral. Tidak tepat kalau di dalam kode etik diatur tatacara membedah, atau bagaimana cara mengobati.
Jadi sama dong dengan notaris, mestinya bagaimana membuat akta itu hanya diatur dalam aturan UUJN saja atau aturan yang sifatnya teknis proses pekerjaan notaris. Kewenangan jabatan notaris adalah kewenangan yang diatur peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU. Tentu saja UU dan kode etik berbeda. Singkat kata, sumber kewenangan jabatan notaris adalah UU, bukan dari kode etik.
Sehingga akhirnya, kode etik tidak bisa mengatur hal-hal yang sudah diatur di dalam UU. Kode etik semestinya tidak mengatur masalah teknis membuat akta, teknis notaris bekerja. Kode etik lebih tepat mengatur masalah moralitas manusia atau etika, makanya namanya kode etik.
Bila memang akhirnya pembatasan akta harus diberlakukan, boleh saja. Namun tempatnya bukan di kode etik. Caranya adalah dengan mengubah UUJN-nya. Soalnya untuk hal-hal ini seperti lebih tepat di UUJN yang juga mengatur hal-hal teknis tatacara notaris bekerja.
Saya mengingatkan bahwa jika alasan untuk membatasi notaris dalam membuat akta per hari, misalnya 20, adalah mengurangi resiko akibat ketidakcermatan maka hal ini perlu ditinjau lagi. Sebab notaris, kan bukan anak kecil lagi. Mereka sudah tentu tahu bagaimana cara, bekerja sebaik-baiknya. Kalau seseorang notaris yang membuat akta banyak, tapi bisa mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya, mengapa tidak?
Hal ini kembali ke hakekat akta otentik yang memiliki kekuatan sebagai alat bukti sempurna. Kesempurnaan itu diukur dengan apa? Salah satunya adalah dengan formal dan material. Secara formal ukurannya adalah, sudahkah proses pembuatannya sesuai aturan. Kalau sudah sesuai aturan, ya apa masalahnya? Dari konteks tanggung-jawab, sudah tentu orang lain tidak bisa turut campur tanggung-jawab notaris karena notaris bekerja dengan resiko pribadi sampai mati.
Jadi, sepanjang si notaris mengatakan bahwa akta yang dibuatnya sudah sesuai prosedur secara sempurna dan tidak ada gugatan, ya sudah tak perlu dipersoalkan. Anggaplah itu sempurna.
Dari ini semua saya menganggap bahwa yang tepat bukanlah membatasi-batasi akta. Yang benar adalah mendidik secara intensif dan berkala terhadap anggota dalam membuat akta yang benar sesuai aturan, dan juga menegakkan aturan melalui lembaga pengawas secara tegas, misalnya notaris yang melanggar wilayah jabatan yang dibolehkan.
Saya sebagai anggota Majelis Pengawas Daerah juga memahami aspirasi rekan yang menangani akta fidusia yang jumlahnya ratusan, bahkan saya dengar ada yang sampai mengerjakan akta jumlahnya ribuan dalam sebulan. Hal ini merupakan fakta yang menjadikan pekerjaan rumah bagi kita untuk memikirkannya. Namun, sebaliknya hal ini janganlah serta-merta dipakai sebagai alasan untuk membatasi pembuatan akta.