Monday, 10 August 2015

Batasan-Batasan Notaris Dapat Dituntut Pidana



Oleh : HAPPY HADIASTUTI SH CN

A. Latar Belakang

Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang Pejabat Umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat Akta Otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa:

"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya." 

Selanjutnya dalam pasal 1868 KUH Perdata : 
“Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yg ditentukan Undang-Undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Pasal 1870 KUH Perdata : 
“Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu Akta Otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.
Sebagaimana diketahui bahwa Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk membuatnya menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang yang berisikan perjanjian atau kemauan dari para pihak. 

Otentik artinya karena dibuat di hadapan seorang Pejabat Umum yang ditunjuk untuk itu yang dalam hal ini biasanya adalah seorang Notaris, sehingga akta yang dibuat di hadapan Notaris tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti di depan Pengadilan, sedangkan istilah surat di bawah tangan adalah istilah yang dipergunakan untuk pembuatan suatu perjanjian antara para pihak tanpa dihadiri atau bukan dihadapan seorang Notaris sebagaimana yang disebutkan pada Akta Otentik di atas.   



Perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji, tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan kebutuhan para pihak tersebut, sedangkan kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak tersebut apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya perjanjian tersebut (mengakui tanda tangannya di dalam perjanjian yang dibuat). Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut.  Lain halnya dengan Akta Otentik, Akta Otentik atau biasa disebut juga Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya dapat dijadikan bukti di pengadilan.


Perjanjian-perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan Notaris disebut akta (untuk selanjutnya disebut ditulis akta). Tujuannya adalah agar supaya akta tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain.  


Berdasarkan uraian di atas, jelas begitu pentingnya fungsi dari akta Notaris tersebut, oleh karena itu untuk menghindari tidak sahnya dari suatu akta, maka lembaga Notaris diatur di dalam Peraturan Jabatan Notaris untuk selanjutnya ditulis (PJN), yang sekarang telah diganti oleh Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan selanjutnya disebut UUJN.

Hanya saja di dalam Undang-Undang Notaris baik undang-undang yang terdahulu maupun yang Undang-undang yang sekarang ada, tidak diatur dengan jelas tentang bagaimana seorang Notaris itu selaku Pejabat Umum mempertanggungjawabkan secara hukum apabila dia melakukan kesalahan dalam membuat akta yang dibuatnya, hanya dikatakan bahwa seorang Notaris tidak boleh menolak untuk membuat suatu akta yang dimohon dan seorang Notaris tidak boleh membuat akta yang bertentangan dengan hukum.  


Notaris mempunyai pertanggungjawaban secara administrasi, perdata, maupun pidana. Ada kemungkinan bahwa pertanggungjawaban di satu bidang hukum tidak menyangkut bidang hukum yang lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) dapat menimbulkan pertanggungjawaban di bidang hukum pidana. Batasan-batasan terhadap tindakan Notaris yang mengandung pertanggungjawaban pidana belum jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, sehingga diperlukan suatu konsep atau batasan sejauhmana tindakan Notaris dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun demikian yang terpenting adalah tetap dibutuhkan aspek kehati-hatian, kecermatan dan kejujuran yang merupakan hal mutlak dalam melaksanakan jabatan Notaris.


B.   Permasalahan



Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana batasan-batasan pertanggungjawaban pidana seorang Notaris dalam melakukan pekerjaan/jabatannya?
2. Bagaimana dengan kewajiban melekatkan sidik jari pada minuta akta, sebagaimana UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris?



C. Pertanggungjawaban Pidana Notaris


Tindak pidana atau disebut juga peristiwa pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “delict”(Moeliatno, 2000). Menurut KUH Pidana yang berlaku di Indonesia, perkara pidana itu termasuk ke dalam “misdrijf’ (kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). Perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat merupakan kelakuan yang menyimpang (abnormal). Tingkah laku yang menyimpang itu sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana kehidupannya hidup dalam suatu kehidupan kemasyarakatan. 


Salah satu asas dalam hukum pidana adalah Asas Kesalahan merupakan suatu asas yang fundamental, sebab asas itu telah begitu meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran–ajaran penting dalam hukum pidana. Akan tetapi asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” tidak boleh dibalik menjadi “Tiada kesalahan tanpa pidana”. Dengan demikian hubungan dari kesalahan dan pemidanaan akan jelas, yaitu bahwa kesalahan itu merupakan dasar dari pidana. Dilihat dari bentuknya, kesalahan itu dapat pula dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kesengajaan dan kealpaan. 


Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari menimbulkan sengketa, maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak yang tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya di hadapan Notaris  atau adanya kesepakatan yang telah dibuat antara Notaris dengan salah satu atau mungkin kedua belah pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan Notaris, baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri, maka Notaris memberikan pertanggungjawaban. 


Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik sejauh pembuatan Akta Otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta Otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan para penghadap dan Notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.


Secara sederhana, Notaris dapat dibedakan antara Notaris itu sendiri yang menjalankan kewenangan berdasarkan jabatannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Notaris dalam pengertian orang perorangan yang melakukan suatu perbuatan. Sepanjang Notaris bekerja berdasarkan kewenangan yang diatur Undang-Undang maka pada dasarnya ia dilindungi oleh undang-undang. Akan tetapi jika yang melakukan perbuatan tersebut dalam pengertian orang perorangan, maka pertanggungjawabannya sangat bergantung pada kesengajaan-nya (opzet).


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), Notaris dapat dipertanggungjawabkan  baik secara administratif, perdata maupun pidana. Dalam UUJN tersebut dengan jelas ada pasal-pasal yang mengatur tentang batasan-batasan pelanggaran administratif dan tindakan adminstratif yang dapat dijatuhkan, baik berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, maupun pemberhentian dengan tidak hormat.

Dalam hal tanggungjawab perdata, jika dilakukan perubahan terhadap isi akta, baik dengan cara diganti, ditambah, dicoret; disisipkan, dihapus, dan/atau ditulis tindih, sedangkan perubahan tersebut tanpa diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris sehingga  mengakibatkan kerugian pada pihak, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti kerugian dan bunga.    
  

Dalam kenyataannya di lapangan ada ditemukan akta Notaris yang dipermasalahkan oleh para penghadap atau pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat diterbitkanya akta Notaris tersebut. Apakah ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa), sehingga Notaris diperiksa oleh penyidik Kepolisian. Dimungkinkan juga Notaris tersebut turut serta atau membantu melakukan tindak pidana dengan cara membuat keterangan palsu dalam akta yang dibuat di hadapannya seperti dalam kasus yang melibatkan seorang Notaris Kota Palopo berinisial Z yang ditetapkan sebagai tersangka karena terindikasi kuat telah melakukan pemalsuan dokumen akta tanah. Dalam kasus ini berdasarkan uji keaslian cap jempol yang dilakukan oleh ahli Forensic Identifikasi Polda Sulselbar, yang menyatatakan cap ibu jari yang tertera pada akta jual beli tersebut bukan milik Hj. Kallo sang pemilik tanah.  


Dalam ajaran para ahli hukum atau Doktrin pun,  unsur kesengajaan yang ada terbagi dalam Kesengajaan dengan Maksud (Opzet Als Oogmerk), Kesengajaan dengan Sadar Kepastian (Opzet met Zekerheidsbewutzjin) dan Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (Dolus Eventualis atau Voorwaardelijk Opzet). Corak Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (Dolus Eventualis atau Opzet bij Mogelijheids Bewustzijn) perlu diperhatikan oleh Notaris dalam melakukan tugas pekerjaan/jabatannya. Notaris sebelum membuat akta jual beli atas permintaan pihak Bank, yang bukan dari permintaan pihak penjual maupun pembeli, seharusnya Notaris dapat menduga atau mengira jika akta jual beli tersebut yang dibuatnya ternyata tidak sesuai dengan keinginan baik pihak penjual maupun pembeli  atau tanpa sepengetahuan para pihak akan mengakibatkan isi akta yang dibuatnya tersebut memuat keterangan palsu. Kemudian Notaris juga dapat menduga–duga jika akta tersebut tidak ditandatangani atau dicap jempol di hadapan saya (Notaris/PPAT) dapat berakibat terjadi pemalsuan tanda tangan karena dapat ditandatangani atau dibubuhi cap jempol orang lain. 


Dalam perkara pidana, seorang Notaris dapat dihadapkan sebagai terdakwa, saksi dan maupun ahli. Ada beberapa kemungkinan  yang dapat menjerat seorang Notaris melakukan tindak pidana dan diminta pertanggungjawaban pidana sebagai tersangka/terdakwa.  Kemungkinan-kemungkinan tersebut sebagai berikut : 

a. Tanggal dalam akta tidak sesuai dengan kehadiran para pihak;

b. Para pihak tidak hadir tetapi ditulis hadir; 
c. Para pihak tidak ada membubuhi tandatangan tetapi ditulis atau ada tandatangannya;
d. Akta sebenarnya tidak dibacakan akan tetapi diterangkan telah dibacakan; 
e. Luas tanah berbeda yang diterangkan oleh para pihak;
f. Notaris ikut campur tangan terhadap syarat-syarat perjanjian;
g. Dalam akta disebutkan bahwa pihak-pihak telah membayar lunas apa yang diperjanjikan padahal sebenarnya belum lunas atau bahkan belum ada pembayaran secara riil;
h. Pencantuman pembacaan akta yang harus dilakukan oleh Notaris sendiri padahal sebenarnya tidak;
i. Pencantuman mengenal orang yang menghadap padahal sebenarnya tidak mengenalnya.    

Kecakapan dan kewenangan Penghadap bertindak pun, harus dimuat, diuraikan dan disebutkan dalam akta. Pencantuman, “Penghadap saya, Notaris kenal”, yang disebut dalam akta ini merupakan keterangan Notaris dan bukan keterangan Penghadap. UUJN tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan, “Kenal atau Mengenal Penghadap”, sehingga hal ini menimbulkan suatu interpretasi yang subyektif dari masing-masing Notaris dengan kata, “Kenal atau Mengenal”,  tersebut. UUJN tidak merumuskan secara eksplisit arti kata Kenal atau Mengenal Penghadap itu, tapi UUJN hanya merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang menghadap kepada Notaris. 


Pencantuman saya Notaris kenal haruslah diartikan bahwa Notaris menjamin pemenuhan syarat-syarat sebagai penghadap yang ditentukan UUJN atau sebaliknya jika penghadap diperkenalkan oleh saksi pengenal maka saksi pengenal yang harus menjamin pemenuhan syarat-syarat yang harus dipenuhi penghadap tersebut.


Dalam hal Notaris diperiksa sebagai saksi maupun ahli, maka Notaris dapat berlindung pada ketentuan pasal 66 UUJN yaitu harus ada persetujuan terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Notaris, akan tetapi ketika Notaris diperiksa sebagai tersangka/terdakwa maka persetujuan tersebut tidaklah diperlukan, mengingat sebagai tersangka/terdakwa Notaris senantiasa diperiksa atas dasar ketentuan pasal 55 KUHP tentang Penyertaan (deelneming) yaitu sebagai turut serta melakukan (mededader atau medepleger), maupun dengan ketentuan pasal 56 KUHP tentang Pembantuan (medeplichtigheids), sehingga sangat besar kemungkinan penyidik maupun penuntut umum telah memperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dalam perkara tersebut.   


Pasal-pasal pidana yang dapat muncul dalam pelaksanaan tugas/jabatan Notaris, antara lain :
1. Pasal-pasal tentang Pemalsuan, yaitu pasal  263 dan 264 KUHP.
2. Pasal-pasal tentang Penggelapan, yaitu pasal 372 dan 374 KUHP.
3. Pasal tentang Pencucian uang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Pasal tentang Memberikan Keterangan Palsu di Bawah Sumpah, sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUHP. 



D. Kewajiban Melekatkan Sidik Jari Pada Minuta Akta


Perubahan Undang-Undang Jabatan  Notaris diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris, yakni  pada tanggal 15 Januari 2014 (Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris). Dengan demikian maka ketentuan yang diatur di dalam UU tersebut telah berlaku dan mengikat bagi para Notaris.


Di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: ...c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta”. Ketentuan ini  banyak mendapat perhatian karena ada beberapa hal yang belum jelas berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut di dalam praktek Notaris, walaupun penjelasan pasal tersebut telah menyatakan “cukup jelas”.


Sidik jari (finger print) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Kulit telapak adalah kulit pada bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari, dan kulit bagian dari telapak kaki mulai dari  tumit sampai ke ujung jari yang mana pada daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk struktur tertentu. 


Dari pengertian tersebut “sidik jari” dapat berarti tapak dari salah satu jari pada tangan atau kaki atau dapat juga berarti keseluruhan tapak dari jari-jari tangan maupun jari-jari kaki atau tapak dari kulit tangan kanan dan/atau kiri, atau tapak dari bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai kesemua ujung jari dan atau tapak dari bagian kulit dati telapak kaki mulai dari tumit sa,pai ke ujung jari.  Jadi bisa bersifat tunggal maupun jamak.  

Timbul berbagai pemikiran mengenai latar belakang atau maksud ditetapkannya pasal 16 ayat 1 huruf c yang mewajibkan Notaris untuk melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta tersebut. Dari fakta yang ada, tidak sedikit pula penyangkalan yang dilakukan oleh penghadap terhadap keberadaan tandatangan yang bersangkutan pada minuta akta Notaris.


Ada pula yang berpendapat bahwa makud dan tujuan dicantumkannya kewajiban untuk melekatkan sidik jari pada minuta akta tersebut adalah agar dapat dilakukan pembuktian di kemudian hari apakah seorang penghadap tersebut benar hadir secara fisik dihadapan Notaris  untuk menandatangani suatu akta atau tidak. Dalam hal ini jika penghadap yang bersangkutan menyangkal perihal kehadirannya di hadapan Notaris atau menyangkal tandatangannya yang ada pada minuta akta maka sidik jari tersebut akan dipakai untuk membantah sanggahan yang dilakukan oleh penghadap.


Undang-Undang Jabatan Notaris sendiri tidak menyebutkan secara tegas sidik jari yang mana yang wajib dilekatkan pada minuta akta. Karena UUJN tidak menyebutkan hal tersebut maka banyak pendapat yang bermunculan mengenai hal ini. Ada yang berpendapat yang dilekatkan adalah 10 (sepuluh) jari tangan, ada yang berpendapat 5 (lima) jari tangan kanan atau tangan kiri, ada yang berpendapat cukup cap ibu jari kanan/kiri saja.


Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka seyogyanya ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang yang mengatur hal tersebut sehingga tercipta keseragaman di dalam praktek pengambilan sidik jari penghadap sehingga tidak akan menimbulkan penolakan-penolakan dari penghadap berkaitan dengan hal tersebut.dan juga pilihan penggunaan sidik jari yang mana menjadi mempunyai dasar hukum yang jelas.

Berbeda halnya dengan UUJN, pengaturan sidik jari yang diatur didalam pasal 1874 KUHPerdata adalah menyangkut kekuatan pembuktian surat yang dibuat dibawah tangan apabila pembuatanya tidak dapat menandatangani surat yang bersangkutan, maka dapat digantikan dengan membubuhkan cap jempolnya pada surat tersebut sebagai pengganti tandatangannya. Pasal 1874 KUH Perdata mengatur cap jempol sebagai pengganti tandatangan untuk surat-surat dibawah tangan, sehingga ketentuan tersebut tidak berlaku untuk penggantian tandatangan dalam suatu Akta Otentik.


Untuk Akta Otentik penggantian tandatangan cukup dilakukan dengan “Surrogat” tandatangan yang berisikan keterangan Notaris yang dikonstantir oleh Notaris dari keterangan penghadap yang bersangkutan perihal keinginannya untuk menandatangani akta akan tetap tidak dapat melakukannya karena alasan tertentu, serta keterangan tersebut dicantumkan pada akhir akta. Keterangan tersebut sebagai pengganti tandatangan karena keterangan tersebut berasal dari seorang Notaris yang dipercaya dan yang merupakan hakekat dari jabatan Notaris. 


Jika melihat  latar belakang atau maksud diadakannya ketentuan mengenai sidik jari di dalam UUJN seperti yang diuraikan, maka 4 (empat) hal yang harus dipastikan berkaitan dengan  pelekatan sidik jari tersebut, yaitu:

1) Sidik jari tersebut benar beralas dari jari penghadap yang bersangkutan;
2) Sidik jari tersebut bersumber langsung dari jari tangan penghadap,dalam arti tidak melalui prantara media lainnya;
3) Sidik jari tersebut diambil berkaitan dengan pembuatan akta tertentu (diambil pada setiap pembuatan akta yang dibuat dalam bentuk minuta akta ), yang diambil pada lembaran tersendiri dengan memuat uraian yang jelas judul akta, tanggal akta, nomor akta, nama penghadap  dan bial diras perlu dikuatkan dengan tandatangan dari penghadap;
4) Sidik jari tersebut diambil pada  hari dan tanggal yang sama dihadapan Notaris dan saksi-saksi pada saat .



Sedemikian pentingnya sidik jari dalam pembuktian, sehingga ada ilmu tersendiri mengenai hal tersebut, yaitu ilmu bantu sidik jari (dactyloscopy). Mengingat bahwa jenis dan tipe sidik jari setiap orang pasti berbeda-beda maka dibutuhkan suatu keahlian khusus dalam membaca sidik jari seseorang. Oleh karena itu, pada prakteknya ada orang-orang tertentu yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengidentifikasian terhadap sidik jari 


Pembuktian dengan menggunakan metode Dactyloscopy memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain, salah satunya adalah bahwa sidik jari seseorang bersifat permanen, tidak berubah selama hidupnya, gambar garis papilernya tidak akan berubah kecuali besarnya saja, selain itu juga memiliki tingkat akurasi paling tinggi di antara metode lain, yang sulit untuk dibantah oleh para pihak. Tidak seperti metode yang menggunakan keterangan saksi yang bisa saja pelaku, saksi maupun korban dapat berbohong atau memberikan keterangan palsu. 


Metode yang umum dipakai hingga saat ini untuk membuat klasifikasi dari sidik-sidik jari itu disebut dengan Henry System. Singkatnya sidik jari yang wajib dilekatkan pada suatu akta Notaris adalah dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa benar orang yang bersangkutan yang bertanda tangan pada akta notaris tersebut.  



E.     Kesimpulan 


Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban bagi Notaris dapat berupa pertanggung jawaban administrasi, perdata maupun pidana. Khusus mengenai pertanggungjawaban pidana bagi Notaris tidak diatur secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang tentang Jabatan Notaris, tetapi pertanggungjawaban pidana Notaris sangat bergantung “kesengajaan” (opzet) dalam perbuatan Notaris tersebut. Oleh karena Notaris bertanggung jawab terhadap setiap akta yang dibuatnya, maka Notaris berkewajiban bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri dan menjaga kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam perbuatan hukum tanpa memihak kepada siapapun dalam melaksanakan jabatannya.

2. Belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut tentang sidik jari yang wajib dilekatkan dalam setiap minuta akta. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang tentang Jabatan Notaris, hanya sekedar mewajibkan pelekatan sidik jari tanpa penjelasan lebih lanjut. Untuk melaksanakan ketentuan yang belum diatur dalam suatu Undang-Undang, maka seyogyanya diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Akan tetapi maksud dari pelekatan sidik jari pada Akta Notaris adalah dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa benar orang yang bertanda tangan adalah orang yang sama, mengingat sidik jari setiap orang pastilah berbeda-beda. (*)


Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “KAJIAN YURIDIS DAN PRAKTEK TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN UU NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERKAIT SIDIK JARI, ASPEK PIDANA NOTARIS DAN PERLINDUNGAN NOTARIS, SERTA DEGRADASI AKTA”, diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pengurus Pusat IKANOT UNDIP, di Jakarta, tanggal 4 Maret 2014.


Koordinator/Staf Ahli pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Sumber :    tanahnusantara.com



Related Posts: