Akan di-launching
Agustus 2016 mendatang. Tujuannya untuk melahirkan notaris berkualitas,
berdedikasi tinggi, berbudi pekerti luhur, bertanggungjawab dan bermartabat
sesuai dengan jabatannya sebagai pejabat umum
Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Ditjen AHU Kemenkumham) akan segera menerbitkan aturan terkait uji kompetensi
notaris. Aturan tersebut rencananya akan mengatur uji kompetensi notaris yang
akan dilakukan setiap lima tahun sekali termasuk uji kompetensi terhadap calon
notaris yang akan dilakukan pengangkatan sebagai notaris.
Menkumham Yasonna
H Laoly mengatakan, latar belakang munculnya kebijakan ini karena masih banyak
ditemukan notaris yang kurang profesional dalam menjalankan jabatannya dan
merugikan masyarakat selaku pengguna jasa notaris. Hal itu diketahui lantaran
banyaknya complain yang masuk ke Ditjen AHU akibat perbuatan
oknum notaris yang kurang profesional dalam memberikan jasa hukum sesuai dengan
kewenangannya. “Akan dibuat peraturannya dalam waktu dekat,” katanya beberapa
waktu lalu.
Latar belakang
lain dibuatnya kebijakan uji kompetensi ini karena banyaknya perguruan tinggi
yang membuka program Magister Kenotariatan (MKn)
yang melahirkan calon-calon notaris dalam jumlah yang besar. Banyaknya lulusan
MKn setiap periodenya, kata Yasonna, malah memunculkan kompetisi dan membuat
rekan-rekan notaris berpraktik tanpa memperhatikan kode etik profesi yang
diatur organisasi.
Hal ini pun sudah
dibicarakan antara Ditjen AHU dengan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia
(PP INI). Kedua pihak sepakat, perlu ada kebijakan yang melahirkan notarus
berkualitas, berdedikasi tinggi, berbudi pekerti luhur, bertanggungjawab dan bermartabat
sesuai jabatannya sebagai pejabat umum.
“Uji kompetensi
ini menjadi suatu yang harus kita lakukan. Seperti pengacara, harus lalui uji
kompetensi sebelum jadi pengacara walaupun telah lulus dari kampus,” tambahnya.
Kepada hukumonline, Dirjen
AHU Kemenkumham Freddy Harris menjelaskan bahwa arah pengaturan kebijakan dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) tersebut salah
satu poinnya akan fokus mengatur tentang standarisasi profesi, kurikulum, dan
kuota mahasiswa. Ia menargetkan Permenkumham ini akan selesai Agustus 2016
mendatang.
“Lebih pengaturan
ke program studi. Kita ingin program studi mengatur jumlah mahasiswa MKn karena
kebutuhan dari kita (Ditjen AHU) sekian. Ada kuota yang harus diatur,” katanya.
Selama ini, Ditjen
AHU melihat Kementerian Riset Tekonolgi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek
Dikti)sangat mudah memberikan izin kepada perguruan tinggi atas permohonan
pembukaan program MKn. Hal tersebut berdampak pada Ditjen AHU selaku user dimana
jumlah lulusan MKn yang berprofesi notaris tidak sesuai dengan kebutuhan yang
ditetapkan Ditjen AHU.
“Dulu memang ada
pandangan lulusan MKn bisa bekerja dimana saja selain jadi notaris seperti di
perusahaan. Tapi ternyata 90 persen siswa MKn mau jadi notaris. Dikti ngga diskusi
sama kita, Ditjen AHU kan user-nya. Inikan bukan sekolah umum
dimana orang bisa bekerja dimana saja. Makanya harus ke kita dong, ngga bisa
main lepas gini aja,” paparnya.
Sebelumnya,
sekira akhir tahun 2014, sempat ramai wacana Kemenristek Dikti untuk
‘mengeluarkan’ program MKn dari universitas dan mengembalikan program itu
kepada pendidikan profesi. Hal tersebut
diungkapkan oleh Prof Johannes Gunawan (saat itu sebagai Ketua Tim Revitalisasi
Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek). Wacana ini mendapat
respon positif dari PP INI kala itu.
Johannes
mengusulkan bila wacana ini sulit diimplementasikan, setidaknya jalan
keluar yang bisa dilakukan adalah calon notaris tidak perlu mengikuti
pendidikan magister di tingkat strata-2. Melainkan, cukup lulus pada program
sarjana strata-1 tetapi ditambahkan pendidikan selama satu tahun sebagai
tambahan program kenotariatan. Bila program sarjana masuk ke level 6, maka
kenotariatan bisa dimasukan ke level 7 dimana para mahasiswa menempuh
pendidikan profesi selama satu tahun untuk mendapatkan ijazah sekaligus
sertifikat profesi.
Satu hal penting,
Johannes menyampaikan bahwa pendidikan profesi dan uji kompetensi seyogyanya
diselenggarakan oleh organisasi profesi, yakni PP INI. Namun, jika belum dapat
direalisasikan, ia mengusulkan agar PP INI ‘menitipkan’ sebagian kewenangan
kepada perguruan tinggi tetapi tetap memberikan standar kurikulum dan
kompetensi yang dibuat PP INI.
Terpisah, mantan Ketua Umum PP INI periode
(2009-2012 & 2013-2016), Adrian Djuaini mengatakan bahwa permasalahan uji
kompetensi notaris telah menjadi concern PP INI belakangan
ini. Sebagai tindak lanjutnya, telah dibuat kesepakatan antara PP INI,
Kemenkumham, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Penyelenggara Program
Pendidikan Magister Kenotariatan untuk mengatur uji kompetensi ini.
“Kita merasa sudah
saatnya ada standarisasi mengenai kompetensi notaris. Karena dengan munculnya
pendidikan notaris yang banyak, itu menghasilkan kompetensi yang berbeda.
Sedangkan notaris adalah pejabat umum yang melaksanakan sebagian fungsi negara.
Artinya dia harus punya skill, kompetensi yang baik,” ujar Adrian.
Lebih lanjut, uji
kompetensi ini wajib dilakukan, baik nanti kepada calon notaris atau terhadap
notaris yang telah berpraktik. Melalu uji kompetensi ini diharapkan dapat
mengeliminir notaris ‘nakal’ dalam rangka dilakukan pembinaan secara lebih baik
lagi. Uji kompetensi itu juga harus dilakukan dengan pendidikan tambahan
bernama pendidikan profesi. Dimana lulusan-lulusan MKn dilakukan pensetaraan
lewat pendidikan profesi. “Ini dikelola oleh organisasi (PP INI), “ katanya.
“Saya hanya
meletakan dasar. Nanti yang akan meneruskan adalah pemimpin yang baru. Itu hal
yang sangat penting dan harus jadi prioritas utama oleh pengurus yang akan
datang,” ujarnya.
Notaris dan
PPAT di Tangerang, Alwesius sepakat bila ada evaluasi setiap lima tahun
terhadap profesi notaris sepanjang bertujuan untuk mempertahankan
profesionalitas notaris. Namun, ia menilai terdapat sejumlah masalah terutama
terkait syarat menjadi notaris jika dikaitkan dengan pendidikan yang dilakukan
oleh program MKn di perguruan tinggi.
“Syarat jadi
notaris itukan MKn. Sepanjang dia MKn, dia berhak jadi notaris. Di satu sisi UU
Jabatan Notaris tentukan syarat MKn, tapi di sisi lain MKn itu kan akademik.
Itu kewenangan Dikti. Jadi suka-suka mereka kan memberikan izin bagi semua
universitas yang mau buka prodi,” kata Alwesius.
Atas dasar itu,
notaris mestinya mendapat pendidikan keahlian. Dimana penting dipastikan apakah
notaris sudah menguasai ilmu yang diperolehnya sebelum berpraktik nanti.
Sehingga, pendidikan khusus sebagaimana diungkapkan Adrian sangat penting
diwajibkan sebelum seorang notaris diangkat secara resmi.
“Notaris harusnya
pendidikan keahlian. MKn kan gelar akademik, jadi sebagaian
besar ilmunya teoritis bukan terapan, itu persoalan. Apalagi dikaitkan dengan
mereka (program MKn) harus meluluskan. Kalau tidak lulus, terpengaruh ke
akreditasi. Dan penyelenggaraan kampus diukur dengan nilai akreditasi agar bisa
tinggi,” tutupnya.
Sumber : hukumonline.com